Sabtu, 14 September 2013

SENI PERTUNJUKAN WAYANG SEBAGAI WAHANA PENDIDIKAN

A. Pendahuluan Pendidikan adalah bagian dari sistem pengetahuan yang merupakan bagian dari kebudayaan manusia. Sebagaimana diutarakan oleh Koenjaraningrat (1981: 202-209), bahwa kebudayaan merupakan sistem dalam kehidupan manusia yang mencakup sistem religi, sistem bahasa, sistem pengetahuan, sistem pencaharian, sistem kemasyarakatan, sistem bercocok tanam, dan sistem kesenian. Pendidikan mengarahkan manusia kepada cara berpikir cerdas dan rasional. Seperti tercantum di dalam pembukaan UUD 45, bahwa tujuan pendidikan nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai suatu bangsa harus memiliki kecerdasan dalam berpikir, mampu memelihara perdamaian dalam kehidupan bersama di muka bumi, dan mampu menegakkan kebenaran yang seadil-adilnya. Manusia dan kebudayan selalu berada dalam bingkai ruang dan waktu tertentu yang disebut ”jaman”. Jaman merupakan suatu periode di mana manusia dan kebudayaannya berada. Dari jaman ke jaman kehidupan manusia selalu dihadapkan dengan situasi kebudayaan yang selalu berubah dan berkembang. Di dalam perjalanan perubahan dan perkembangan itulah manusia silalu dituntut mengembangkan daya kreatifitas dalam memenuhi hajat hidupnya. Hal yang yang perlu menjadi komitmen bahwa, manusia modern, pada dasarnya, adalah manusia yang sepenuhnya menyadari akan kebudayannya, aktif turut memikirkan dan merencanakan arah yang harus ditempuh oleh kebudayaan secara manusiawi (Peursen, 1988: 10). Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang menjadi sarana ekspresi manusia untuk mengungkapkan gagasan tentang keindahan. Kesenian adalah produk budaya manusia yang mampu memberikan kepuasan dan kebahagiaan kepada manusia sebagai pemiliknya. Oleh karena itu semua bangsa tentu mempunyai semboyan bahwa kesenian perlu dilestarikan. Semboyan ini bukan semata-mata konservasi dari wujud fisiknya, melainkan kandungan nilai-nilai yang mampu memberikan kontribusi kepada pertumbuhan dan perkembangan jiwa generasi penerusnya. Hakikat dari seni adalah indah, dalam wujud apa saja karya seni intinya adalah keindahan. Indah dalam arti mengandung pesan dan kesan menarik karena dianggap baik, adiluhung, dan benar. Hakikat indah bukanlah semata-mata sesuatu yang secara ideal dianggap ”bagus”, melainkan ada suatu kandungan nilai yang mampu menyentuh jiwa yang paling dalam. Nilai itulah yang akan menggerakkan hati manusia menjadi sadar akan dirinya sendiri, sadar akan lingkungannya, dan sadar akan penciptanya. Melalui seni, manusia dapat mengambil pelajaran hidup, karena seni pada hakikatnya adalah cerminan pendidikan yang dibutuhkan oleh kehidupan manusia. Akan tetapi, dalam memberikan pendidikan anak yang berwawasan seni dan lingkungan tidak berarti memaksakan anak didik untuk memahami suatu bentuk seni ataupun aliran seni, hal yang lebih signifikan adalah bahwa nilai seni itu mampu menginspirasi anak didik untuk menggerakkan daya rasional maupun daya emosionalnya sehingga anak memiliki kualitas kecerdasan yang tinggi. Seni bukanlah teori yang harus menjadi dasar pemikiran untuk pengembangan ilmu, tetapi seni merupakan media ungkap untuk mengekspresikan suatu gagasan. Namun demikian seni merupakan simbol yang mengandung nilai-nilai pendidikan. Dalam memahami dan mengupas makna dari simbol-simbol yang diungkapkan melalui seni itu, kita dapat memandang dari berbagai aspek disiplin sesuai dengan kebutuhan pengetahuan. Salah satu bentuk seni yang mengandung nilai-nilai pendidikan adalah ”wayang kulit”. Kesenian ini selalu hidup dan mampu bertahan dari jaman ke jaman berikutnya, karena mampu beradaptasi dengan budaya jamannya. Meskipun dalam perjalanannya mengalami berbagai perubahan dan perkembangan, tetapi ruh yang hakiki dari suatu kesenian itu selalu abadi di masyarakat pemiliknya. Perubahan dan perkembangan itu terjadi karena pandangan budaya masyarakat selalu berubah dan berkembang. Oleh karena itu pandangan akan nilai dalam wayang itupun juga bergerak sesuai dengan karakter dan kepentingan jamannya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian wawasan bukanlah hal yang bersifat staknan atau statis, melainkan sebagai paradigma yang dinamis. Wayang merupakan salah satu seni pertunjukan yang mengandung pesan-pesan pendidikan, baik dilihat dari wujud karakter tokoh-tokohnya, pertunjukan, maupun lakon-lakon yang disajikan. B. Wayang sebagai Gambar Karakter. Wayang kulit merupakan gambar karakter, bukan gambar figur manusia. Semua ornamen yang ada di dalamnya dilukis serba artistik dan estetik. Secara artistik ornamen-ornamen dalam lukisan wayang tampak menarik, karena mengandung nilai-nilai seni yang edipeni. Secara estetik wujud ornamen dalam lukisan wayang itu mengandung makna simbolik yang berhubungan dengan filosofi karakter masing-masing tokoh. Berbagai ornamen yang yang diukir dan disungging pada figur wayang itu selalu disesuaikan dengan karakter wayang yang masing-masing memiliki ciri-ciri spesifik, misalnya: tokoh Bhima selalu memakai sumping pudhak sinumpet, pupuk jarot asem, kampuh poleng, dan sebagainya. Arjuna selalu mengenakan sumping waderan, kampuh limar ketangi, gelung minangkara, dan lain-lainnya. Ciri khas tokoh-tokoh tersebut tidak hanya sekedar membedakan antara satu dan lainnya, tetapi juga mencerminkan perwatakan tokoh, baik tokoh yang berwatak bijak maupun yang berwatak jahat. Dari perwatakan yang telah menjadi konvensi dalam dunia pewayangan itu dalam masyarakat Jawa tokoh wayang banyak yang menjadi idola masyarakat untuk dijadikan suri tauladan. Misalnya tokoh Bhima dan Anoman dipajang di ruang tamu, diharapkan anak-anak mentauladani watan Bhima yang jujur dan teguh, watak Anoman yang pemberani dan sakti mandraguna. Kekuatan konvensional dalam wayang banyak mempengaruhi budaya masyarakat, tidak sekedar lukisan yang digunakan sebagai hiasan dan kesenangan, lebih jauh wayang menjadi pandangan hidup, tauladan, dan harapan masyarakat. Misalnya: orang tua memberi nama anaknya dengan nama wayang: Bhima, Yudhistira, Sadewa, Tutuka, Sita, Prita, dan lain-lainnya, semua itu mempunyai harapan bahwa kelak anaknya menjadi orang yang berkarakter seperti tokoh-tokoh wayang tersebut. Bahkan karanter tokoh wayang itu menjadi standar harapan masyarakat, contoh: anak laki-laki diharapkan yang tampan seperti Arjuna, gagah seperti Gathutkaca, pemberani seperti Bhima. Anak perempuan diharapkan cantik seperti Subadra, tangkas seperti Srikandhi. Tidak mungkin orang berharap memiliki anak laki-laki yang brutal seperti Rahwana, jahat seperti Sangkuni. Sejauh itulah nilai-nilai ketauladanan wayang bagi masyarakat penggemar wayang. Wayang dalam pertunjukannya secara konvensional terdapat dua golongan yang disebut Bala Kiwa dan Bala Tengen. Dua istilah tersebut tidak semata-mata berhubungan posisi penempatan ataupun penataan wayang dalam pakeliran, melainkan istilah yang hubungannya dengan karakter wayang. Yang dimaksud Bala Kiwa adalah tokoh-tokoh yang biasanya berperan sebagai tokoh yang berwatak jahat atau buruk. Tokoh-tokoh ini tidak hanya barupa tokoh yang berwajah buruk saja, seperti raksasa ataupun setengah raksasa, tetapi juga banyak tokoh-tokoh yang jahat yang berupa Ksatriya, Dewa, atau pun Pendeta. Tokoh-tokoh itu dalam pertunjukan wayang pada umumnya diposisikan di sebelah kiri. Sebaliknya dengan tokoh-tokoh yang tergolong Bala Tengen tidak selalu berupa tokoh-tokoh ksatriya yang bagus-bagus atau ganteng-genteng, banyak pula tokoh-tokoh yang berwujud setengah raksasa, dan raksasa. Tokoh-tokoh itu disebut Bala Tengen kaena dalam pertunjukan pada umumnya diposisikan di sebelah kanan. Hal yang perlu diperhatikan adalah simpulan-simpulan dalam suatu pertunjukan wayang, bahwa pada setiap lakon pada akhir ceritanya Bala Kiwa yang angkara murka selalu dikalahkan oleh Bala Tengen yang yang selalu berpegang pada prinsip kebenaran. C. Pesan Pendidikan Semesta dalam wayang Pertunjukan wayang merupakan suatu simbol kehidupan semesta, di dalamnya selalu menyampaikan pesan-pesan yang berhubungan dengan dunia makro dan dunia mikro atau lazim diucapkan oleh dalang jagad gedhé dan jagad cilik. Orang Jawa menginterpretasi dunia mikro bukan hanya terletak pada unsur-unsur kecil yang merupakan bagian-bagian dari dunia makro, tetapi lebih dimaksudkan pada dunia individu manusia. Maka dalam jagad pedalangan selalu diucapkan melalui pocapan padupan demikian: “. . . jagad gedhé yaiku jagad kang gumelar, jagad cilik tegesé jagading sang prabu pribadi. . . “. Maksudnya, jagad besar adalah alam semesta, sedangkan jagad kecil adalah dunia individu sang raja pribadi. Pertujukan wayang terdiri atas berbagai unsur, baik bersifat fisik maupun non- fisik. Unsur-unsur fisik berupa wayang, gawang dan kelir, bléncong, debog, tapak dara, kothak, gamelan, cempala, keprak, serta lain-lainya. Unsur non fisik yaitu perabot garap pakeliran yang berupa lakon, catur atau wacana, gerak wayang atau sabet, suluk, dodogan dan keprakan, serta karawitan pakeliran. Semua unsur tadi dalam pertunjukan disajikan secara serentak bersama dalam satu kesatuan sistem jalinan yang harmonis, tertib dan teratur, sehingga menghasilkan kesan estetik yang sungguh manakjubkan. Kelir diibaratkan dunia semesta, warna putih menggambarkan suasana bersih atau kosong tidak ada apa-apa, pada bagian atas diberi plangitan atau langit-langit sebagai simbol dunia atas, sedangkan pada bagian bawah diberi palemahan sebagai lambang bumi atau dunia bawah. Di tengah-tengah kelir diberi sebuah lampu yang disebut bléncong, ini merupakan simbol sinar matahari atau sinar kehidupan. Boneka wayang adalah lambang dunia individu atau kosmis, bisa berupa tokoh-tokoh yang menggambarkan karakter manusia, juga tokoh-tokoh yang melukiskan makhluk hidup lainnya. Alam semesta diciptakan oleh Tuhan berhubungan dengan keberadaan manusia, terutama unsur-unsur kehidupan. Manusia harus memahami alam semesta yang merupakan perwujudan kekuasaan Tuhan, agar hidupnya selalu selamat. Tuhan memberikan arah atau kiblat dalam hidup manusia, agar supaya kehidupan orang itu tidak salah arah. Di dalam kebudayaan Jawa arah itu disebut kiblat papat lima pancer, yang artinya empat penjuru dan satu sebagai pusat di tengah. Kiblat papat itu diberi nama purwa/wétan (timur), daksina/kidul (selatan), pracima/kulon (barat), untara/lor (utara); dan pancer atau madya (tengah). Dalam pandangan Jawa, kiblat papat ini diidentikkan dengan tempat saudara empat dan kelima pancer, yang disimbolkan dengan warna putih di timur, merah di selatan, kuning di barat, hitam di utara, dan biru di tengah. Kiblat alam semesta ini selalu diawali dari arah timur atau purwa. Kata purwa berarti pertama atau asal mula, juga dikatakan wétan yang diperkirakan berasal dari kata wit-an yang berarti “pertama” (Endraswara, 2003: 7). Di dalam pewayangan keseimbangan kiblat itu digambarkan dalam wujud Kreta Jaladara tinarik jaran papat kunusiran rasa sejati, yaitu kereta kendaraan Raja Kresna yang ditarik oleh empat ekor kuda yang berwarna putih diberi nama Ciptawilaha, yang merah diberi nama Abrapuspa, yang kuning diberi nama Sonyasakti, dan yang hitam diberi nama Sukantha. Masing-masing kuda tersebut memiliki kesaktian berbeda-beda, tetapi mereka bersatu dan saling melilindungi. Dalam kehidupan orang Jawa, arah kiblat tersebut senantiasa harus menyatu dalam posisi yang seimbang. Jika terjadi ketidak seimbangan di antara empat saudara itu maka hidupnya akan terganggu. Sebaliknya jika hubungan antara manusia dengan keempat saudaranya itu harmonis dan seimbang, keempat saudara itu akan selalu membantu (ngreréwangi). Mengenai sedulur papat lima pancer, Susilo (2002) berpendapat bahwa, kata sedulur atau “saudara” merupakan simbol sifat nafsu setiap manusia, yaitu keinginan dan dorongan hati yang kuat baik ke arah kebaikan maupun kejahatan. Dalam pandangan hidup Jawa empat saudara tersebut dilambangkan dengan warna, misalnya warna merah melambangkan sifat nafsu berangasan atau amarah, warna hitam sebagai lambang sifat nafsu angkara murka atau lauamah, warna kuning melambangkan nafsu birahi atau supiyah, dan warna putih sebagai lambang nafsu kesucian atau mutmainah. Istilah sedulur papat lima pancer ini juga berhubungan erat dengan kakang kawah adhi ari-ari. Bayi sebelum lahir yang keluar lebih dulu adalah air ketuban yang dalam bahasa Jawa disebut kawah. Karena air ini keluar lebih dulu, maka disebut kakang artinya saudara tua. Setelah bayi itu lahir, baru keluar plasenta yang disebut ari-ari. Kata ari dalam bahasa Jawa mempunyai arti sama dengan adhi, artinya saudara yang lebih muda. Selain itu kelahiran bayi juga diiring keluarnya darah dan gumpalan-gumpalan daging. Jadi saudara empat yang dimaksud terdiri dari air ketuban, darah, daging, dan plasenta atau dalam bahasa Jawa disebut kawah, getih, daging, ari-ari. Adapun yang dimaksud pancer adalah bayi yang lahir itu sendiri atau badan manusia yang hidup sebagai makhluk sempurna ini. Di dalam pertunjukan wayang sedulur papat lima pancer ini disimbulkan dengan ksatriya tampan yang selalu diiring oleh empat abdinya yang disebut Panakawan, yakni Arjuna yang diiring Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong. Orang Jawa berbicara tentang kosmos otomatis meyinggung tentang hakikat kekuasaan Tuhan. Jadi manusia, kosmos, dan Tuhan adalah suatu kesatuan yang mutlak tidak dapat dipisahkan. Mengenai korelasi manusia dan kosmos, serta Tuhan ini Louis Leahy (2002) berpendapat bahwa, kita megenal Tuhan secara positif dengan memberi-Nya beberapa sifat yang kita ketahui, misalnya sifat ada, sifat baik, sifat pengertian. Akan tetapi sifat-sifat yang kita ketahui itu selalu terbatas. Cara kita sendiri untuk mengetahui telah membuat kita tidak mampu untuk melukiskan suatu kesempurnaan yang tak terbatas. Oleh sebab itu di dalam kehidupan sehari-hari, setiap gagasan kita dikaitkan dengan suatu “representasi”, yaitu dengan suatu gambaran materiil dari suatu obyek yang diberikan oleh panca indera. Kebergantungan ekstrinsik terhadap materi ini membuat pengetahuan manusia secara hakiki terikat pada dunia dan tidak sesuai untuk menangkap realitas Ilahi secara memadai. Oleh sebab itu manusia harus menggunakan istilah-istilah negatif pada waktu berusaha memikir atau membahas perihal Tuhan. Ia sungguh berbeda dengan pengalaman manusia sehari-hari. Ia bersifat tak terbatas, tidak bersebab, dan tidak berakhir. Malahan dapat dikatakan bahwa Dia tidak bersifat baik, tidak berakal, namun dalam hal ini manusia harus berhati-hati, karena jikalau mengingkari bahwa Tuhan adalah baik dan berakal, bukan maksud kita bahwa Dia tidak mempunyai sifat-sifat itu, kecuali hanya bahwa Dia bukan memilikinya dengan cara terbatas yang terkandung di dalam konsep-konsep manusiawi. Dengan demikian, maka telah jelas bahwa setiap kali manusia menggunakan salah satu konsep mengenai diri Tuhan, mereka harus memperbaikinya, dengan meniadakan sifat terbatas dan materiil yang hakiki itu. . C. Ajaran Kepemimpinan dan Mengenal Lingkungan. Lakon Wahyu Makutharama merupakan salah satu lakon populer dalam pertunjukan wayang. Lakon ini pada hakikatnya adalah ajaran kepemimpinan yang mentauladani sifat-sifat delapan anasir alam semesta, yang disebut Hastha-Brata. Ajaran ini merupakan jalan pemahaman kosmologis menuju ”kemanunggalan” antara jagad cilik (alam individu) dan jagad gedhé (alam semesta). Barang siapa dapat melaksanakan delapan jalan utama tentang alam semesta akan disebut raja, sebaliknya manusia yang tidak dapat menjalankan delapan jalan utama itu akan disebut raja tak bermahkota. Seperti yang disampaikan oleh Nartasabda, wejangan Hastha Brata dari Begawan Kesawasidhi yang diberikan kepada Arjuna. Hastha Brata berupa delapan ajaran yang mentauladani watak alam, yang terdiri atas: (1) surya atau matahari, (2) candra atau bulan, (3) kartika atau bintang, (4) himanda atau awan, (5) kisma atau bumi, (6) dahana atau api (7) tirta atau air, dan (8) samirana atau angin. Simbol-simbol tersebut bukanlah semata-mata merupakan lambang sebagai ketauladanan watak saja, akan tetapi juga mengandung nilai pendidikan untuk memahami sifat-sifat dari tiap-tiap unsur alam itu, sehingga memberikan pemahaman bagi manusia betapa pentingnya keberadaan semua unsur alam itu bagi kehidupannya. Dengan demikian manusia tidak memperlakukan alam ini secara semena-mena. Adapun Hastha Brata itu jika ditinjau dari aspek kosmologi dapat diuraikan sebagai berikut. 1) Watak Surya Matahari memiliki daya kekuatan menyinari alam semesta. Dengan adanya matahari, segala makhluk dan tumbuh-tumbuhan yang ada di bumi dapat hidup, tidak memandang besar kecil, tinggi rendah, baik dan buruk, semua mendapat sinar matahari. Matahari menyinari samodera, air samodera menguap menjadi awan, di angkasa awan mencair manjadi air hujan. Jatuhnya air hujan ke bumi, menjadikan bumi subur dan segala sesuatu yang tumbuh di bumi menjadi subur. Di dalam alam individu (kosmis) manusia juga memiliki daya semangat yang didorong oleh kekuatan nafsu dan kehendak dalam hidup manusia. Semangat dalam jiwa manusia ini mempunyai peran sama seperti matahari dalam dunia makro. Ketika manusia masih memiliki daya semangat yang besar, akan selalu memanfaatkan hidupnya untuk mencapai segala sesuatu yang diinginkannya. Semangat manusia itu akan menyinari semua unsur biologis yang berhubungan dengan kehendak, cita-cita, ide, dan pikiran, sehingga semua unsur itu akan bergerak secara terus menerus sesuai dengan peranannya dalam kehidupan ini. Tetapi apabila semangat itu padam, maka semua unsur itu tidak akan bergerak lagi, artinya hidup manusia ini tidak berguna lagi. Maka seorang pemimpin bagsa, selain perlu mentauladani sifat matahari, harus memahami pula kedudukan matahari itu dalam keteraturan semesta. Dengan memahami kedudukan matahari di dunia ini, maka manusia akan menyadari betapa pentingnya matahari ini bagi kehidupan semesta, atas kesadaran itu tentunya manusia akan tersentuh nuraninya untuk selalu menjaga segala perbuatannya yang sekiranya akan mengganggu kelestarian alam. Misalnya langkah-langkah riil yang dilakukan oleh orang-orang Amerika tentang pencegahan green haouse effect, larangan tentang seeking corral, dan pemerintah Indonesia sekarang juga melarang perusahaan-perusahaan besar menggunakan bahan-bahan kimia yang berakibat merusak lapisan ozon, dan lain sebagainya. 2) Watak Candra Bulan memantulkan cahaya karena mendapat sinar dari matahari, cahaya itu memantul ke bumi menerangi di waktu malam hari. Cahaya bulan memiliki daya sejuk dan menenteramkan hati yang memandangnya, maka bulan dapat dikatakan sebagai lentera kehidupan. Bagi orang Jawa, Rembulan juga digunakan sebagai pertanda waktu (penanggalan), rotasi bulan mengitari bumi selama tiga puluh hari dalam satu bulan. Di lihat dari bentuk penampilan bulan dalam satu bulan, orang Jawa mengelompokkan tampilan bulan itu dalam tiga tahap, sepuluh hari pertama disebut wulan tumanggal, purnamasidhi, dan panglong atau pangreman. Hal ini dapat dipahami sebagai suatu perlambang dalam kehidupan manusia, bahwa kehidupan ini semua selalu lahir dari kecil. Dalam perjalanan ruang dan waktu manusia berkembang menjadi besar, dan suatu saat mengalami puncak kesuksesan dalam hidupnya. Tetapi manusia yang sukses itu tidak akan selamanya dapat menikmatinya, karena usia manusia terbatas, jasmani manusia dapat rusak suatu saat harus kembali ke asal mulanya melalui jalan kematian. 3) Watak Bintang (Kartika) Bintang menjadi simbol panutan dan keindahan. Orang Jawa sejak dulu telah mengenal ilmu falak atau astronomi, yaitu ilmu tentang posisi, gerak, struktur, dan perkembangan benda-benda di langit, serta sistem-sistemnya (Bagus, 2005: 91). Nenek moyang orang Jawa hidup sebagai pelaut, maka bintang menjadi petunjuk arah yang utama. Bintang-bintang yang dianggap sebagai petunjuk itu diberi nama-nama dalam bahasa Jawa sesuai dengan kelompok dan bentuk posisinya. Misalnya: lintang luku, yaitu kelompok bintang yang posisinya membentuk luku atau bajak; lintang gubug pèncèng, yakni kelompok bintang yang posisinya membentuk rumah reot; lintang jaka bèlèk, yaitu bintang yang cahayanya tidak terang bagaikan mata yang sedang sakit; lintang banyak angrem, ialah kelompok bintang yang posisinya seperti angsa sedang mengeram; lintang panjer rahina, yaitu bintang yang munculnya pagi hari di sebelah timur; lintang kemukus yaitu bintang berekor (commet) yang muncul pada saat-saat tertentu saja, bintang ini dipandang sebagai pertanda buruk; lintang Bhimasakti atau galaksi, yaitu kelompok bintang yang membentuk tubuh wayang Bhima, kakinya sedang digigit naga. Bintang ini apabila posisinya berada di tengah-tengah langit, menjadi pertanda waktu tengah malam. Gerak dan posisi semua bintang tersebut selalu diikuti oleh masyarakat Jawa tempo dulu, karena perjalanan bintang-bintang itu ada hubungannya dengan pergantian musim atau pranata mangsa. Maka bagi para nelayan yang akan melaut atau pun para petani yang akan bercocok tanam selalu mengikuti perjalanan bintang-bintang tersebut, agar mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Selain itu, orang Jawa juga mengenal horoskup. Nama-nama bintang digunakan sebagai lambang meramalkan watak orang dilihat dari hari kelahiranya. Hal ini dalam ngilmu Jawi disebut Palintangan. Watak orang dapat dibaca menurut bintangnya, adapun bintang itu dapat diketahui melalui hari dan pasaran kelahirannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bintang merupakan simbol yang mecerminkan perwatakan atau sifat-sifat tiap-tiap manusia. Berbagai bintang di langit dipandang sebagai sejumlah perwatakan manusia di dunia yang selalu berbeda satu dan lainnya. Orang Jawa juga telah mengenal astrologi, yaitu ilmu meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan bintang-bintang. Astrologi ini dalam budaya Jawa lebih dikenal dengan istilah Pawukon, berasal dari kata Wuku. Pengetahuan ini diilkhami oleh mitos Jawa yang sangat populer yaitu mitos Watugunung. Konon Prabu Watugunung adalah raja Gilingwesi sangat sakti mandraguna, memiliki dua orang istri bernama Dewi Sinta dan Dewi Landhep, menurunkan anak sejumlah dua puluh tujuh orang semuanya laki-laki. Watugunung bersama keluarganya itu setelah gugur dalam peperangan melawan Dewa Wisnu, oleh Sang Hyang Pramesthi Guru diijinkan suksma mereka tinggal di surga. Suksma Watugunung dan keluarganya itu yang selanjutya disebut sebagai wuku. 4) Watak Awan (Himanda ) Awan dipandang sebagai lambang watak adil. Awan adalah uap air yang berasal dari tempat yang rendah seperti laut, sungai, rawa, dan lembah-lembah. Disebabkan oleh terik matahari, air menguap menjadi awan. Gumpalan-gumpalan awan itu dibawa oleh angin membubung ke angkasa. Di angkasa gumpalan-gumpalan awan itu menyatu dengan lainnya hingga mampu menutup angkasa yang terang menjadi gelap gulita. Akan tetapi ketika awan itu mencapai ketinggian tertentu dan suhu dingin tertentu, akan mencair dan menjadi air hujan yang akhirnya jatuh kembali ke bumi serta menyejukkan semua kehidupan di bumi. Oleh karena itu seorang pemimpin perlu memahami sifat-sifat awan, bahwa sesungguhnya tidak ada keberhasilan dalam kehidupan ini yang dicapai secara tiba-tiba. Setiap manusia perlu mengingat asal-usul dan riwayatnya, sehingga pada saat menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada dirinya akan mudah selalu introspeksi. Ketika ia menghadapi kesusahan tidak putus asa, dan ketika hidupnya sukses tidak lupa daratan. Sekarang banyak dijumpai figur-figur pemimpin yang senang mengumbar janji, pada hal janji itu hanyalah sekedar janji yang tidak pernah ada realisasinya. Ini merupakan salah satu gejala krisis moral, karena manusia didorong oleh kehendak yang tidak disertai ketajaman nuraninya. Manusia cenderung berpikir prakmatis, sehingga buta terhadap nilai-nilai filosofis. Dengan memahami sifat-sifat awan ini, paling tidak manusia akan memiliki watak bijaksana; jika menjadi seorang pemimpin bangsa akan berwatak adil paramarta, sebagaimana awan ketika menjadi air hujan menyirami bumi seisinya. 5) Watak Bumi Bumi adalah tempat berpijak semua makhluk yang ada di atasnya, manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, bahkan segala sumber kekayaan alam terkandung di dalamnya. Meskipun bumi ini diinjak-injak oleh manusia setiap hari, dicangkul para petani, bahkan digali, dikeduk, diambil hasil tambangnya, tetapi bumi tidak pernah mengeluh. Bumi selalu memberikan kebahagiaan kepada semua makhluk yang menempatinya. Contoh: para petani yang rajin mengolah tanah, bercocok tanam, mereka akan menuai buah atau hasil tanamannya yang berlipat ganda dari biji atau bibit yang ditanam. Para binatang mendapatkan makanannya berupa rumput, ubi-ubian, biji-bijian dan sebagainya berkat kesuburan bumi. Tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan berkembang biak karena kesuburan bumi, bahkan segala kebutuhan manusia dan makhluk-makhluk lainnya telah tersedia di bumi ini. Bumi menerima sinar matahari dan jatuhnya air hujan, mengakibatkan segala macam tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh dengan subur, dan semua itu untuk memenuhi kebutuhan manusia dan semua makhluk yang membutuhkannya. Bumi tidak pernah meminta imbalan berupa apapun kepada manusia ataupun makhluk-makhluk lain yang memanfaatkan jasanya. Meskipun demikian, bukan berarti manusia sebagai makhluk berpikir bebas berbuat apa saja asal terpenuhi kebutuhannya, dengan tanpa memperhitungkan kelestarian bumi. Perlunya memahami watak bumi tidak sekedar mentauladani secara simbolik, akan tetapi manusia perlu memahami watak-watak bumi ini agar dapat mengerti bagaimana mensikapi dan memperlakukan bumi ini agar selalu terjaga keseimbangan dan keserasian dalam hidup bersama secara tertib dan damai. Dengan demikian manusia akan terhindar dari terjadinya berbagai bencana di bumi yang merupakan akibat dari perbuatan manusia sendiri. 6) Watak Api (Dahana) Api merupakan salah satu anasir alam yang memiliki daya panas. Energi api dapat digunakan untuk melebur apa saja, bergantung yang memanfaatkan. Jika api itu dimanfaatkan secara positif, akan membuahkan hasil yang positif pula. Misalnya, api digunakan untuk membakar besi hingga meleleh, besi itu dijadikan pisau, atau pun peralatan pertanian, berguna untuk mengolah tanah, bercocok tanam. Api digunakan untuk memasak bahan makanan, menghasilkan masakan yang menjadi sehat untuk dimakan. Api digunakan untuk melehkan logam mulia, menghasilkan perhiasan, dan sebagainya. Akan tetapi sebaliknya, apabila api itu digunakan untuk hal-hal negatif, kemungkinan akan merusak dan merugikan kehidupan ini. Misalkan: api untuk membakar rumah, membakar hutan, membakar pasar, dan sebagainya, jelas hal itu berakibat merugikan bagi kehidupan masyarakat. Ini merupakan simbol semangat yang ada dalam diri manusia, semangat itu jika diarahkan kepada hal-hal yang positif niscaya akan membuahkan hasil yang maslahah bagi kehidupan. Sebaliknya jika semangat itu tidak dikendalikan, cenderung mengarah kepada hal-hal negatif, pasti akan merugikan bagi kehidupan, baik diri sendiri maupun orang lain. Api membara selalu dalam posisi tegak dan berpijar ke atas, ini merupakan simbol sifat tegas dalam menegakkan keadilan. Sebagai pemimpin hendaknya bersikap seperti bara api, selalu bersemangat, bersikap tegas dalam menegakkan keadilan. Tanpa pandang bulu, siapa saja yang menjadi penghalang dan perusuh negara harus ditumpas, yang berbuat salah harus dijatuhi hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku. sebaliknya bagi siapa saja yang patuh kepada peraturan negara harus diayomi. 7) Watak Air (Banyu) Air adalah anasir alam yang selalu menjadi sarana kehidupan. Di mana-mana ada air di situlah ada kehidupan. Meskipun demikian air tidak selalu memiliki sifat ramah, suatu ketika juga menunjukkan sifat kejam. Air di laut menghidupi segala macam isi lautan, dari makhluk hidup yang paling kecil sampai yang paling besar hidup karena air. Manusia dan segala macam binatang di daratan, serta tumbuh-tumbuhan yang menancap di muka bumi, semuanya membutuhkan air. Begitu pula tumbuh-tumbuhan yang ada di atas bukit, di pucuk gunung hidup karena air. Akan tetapi suatu ketika air juga dapat membahayakan; air laut meluap menimbulkan tsunami. Ketika manusia memperlakukan air secara proporsional, mungkin tidak akan terjadi hal-hal yang membahayakan. Akan tetapi ketika manusia memperlakukan lingkungan tidak sesuai dengan aturan atau norma ekosistem yang berlaku, kemungkinan akan berakibat fatal. Perubahan sifat-sifat hakiki air itu sangat dipengaruhi oleh perilaku manusia. Tetapi pada hakikatnya air bersifat rata, di mana ada tempat rendah selalu terisi oleh air sesuai dengan luas dan kedalamannya. Seorang pemimpin hendaknya dapat menjamin kesejahteraan rakyatnya secara adil, pegertian adil dalam hal ini adalah proporsional, sesuai dengan kemampuan, kedudukan, dan beban kebutuhan yang harus disandang oleh rakyatnya. Begitulah pemahaman tentang sifat air yang dimaksud dalam Hastha Brata yang diungkapkan melalui wejangan Kesawasidhi terhadap Arjuna. Air menjadi sumber penghidupan. Yang dimaksud penghidupan dalam hal ini tidak hanya bagi makhluk manusia, tetapi mencakup segala makhluk termasuk binatang dan tumbuhan. Jadi seorang pemimpin harus dapat memberi penghidupan kepada siapa saja yang mempunyai hak untuk dihidupi (Nartasabda, Kusuma Rec. : 8A). 8) Watak Angin (Samirana) Angin adalah anasir alam yang selalu menelusuri berbagai ruang dan waktu, yang sempit, yang luas, yang tinggi, yang rendah, di puncak gunung, di dasar lautan, baik di waktu siang maupun malam, semuanya dilalui oleh angin. Hal ini sesuai dengan pandangan Jawa bahwa pemimpin harus dapat manjing ajur-ajèr, artinya harus bersifat “luwes” atau fleksible dalam bergaul atau srawung di dalam masyarakat. Seorang pemimpin harus dapat menyelami segala keadaan lingkungan di sekitarnya, cara memperhatikan rakyatnya tidak membeda-bedakan derajat, pangkat dan golongan, serta tempat tinggal, semuanya dapat merasakan pancaran kasih sayang pemimpinnya. Selain itu seorang pemimpin harus bersikap empan-papan, artinya selalu dapat menyesuaikan diri dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi yang dihadapi. Ketika menjalankan kedinasan seorang pemimpin harus bersikap disiplin sesuai dengan kewajiban kedinasan. Ketika di rumah, seorang pemimpin harus menjadi pengayom keluarga dan suritauladan masyarakat sekitarnya sebagai seorang penduduk masyarakat yang baik, jangan sampai terjadi urusan kedinasan dibawa-bawa ke keluarga ataupun masyarakat. Dalam pandangan Jawa dikatakan mbédakaké pribadi lan makarti. Sebagaimana disampaikan Nartasabda dalam wejangan Hastha Brata terakhir, bahwa angin sebagai tauladan seorang pemimpin harus berwatak supel dalam bergaul. Oleh karena rakyat yang dipimpin itu terdiri dari bermacam-macam golongan atau kasta, ada yang kasta Brahmana, Kasta Waisya, dan kasta Sudra, yang semuanya telah berada dalam golongannya masing-masing, para para pemimpin harus mampu menyelami mereka dengan sikap yang menyenangkan (karya nak tyasing sesama). Para Brahmana akan tenang bersemadi jika merasa tentram hatinya, para waisya akan tekun bekerja jika dilindungi ketentraman, begitu pula para sudra akan senang hatinya jika merasa tenteram hidupnya (Kusuma Rec.: 8A). D. Kesimpulan Kehidupan manusia dengan keberadaan dunia semesta ini kenyataannya tidak dapat dipisah-pisahkan atau pun terlalu dibedakan, karena keduanya memiliki hubungan timbal balik yang sangat erat. Hubungan antara manusia dan dunia ini didasarkan atas beberapa keyataan dalam bentuk kesatuan. Pertama adalah kesatuan objektif. Manusia tidak hanya merupakan bagian dari dunia semata. Pribadi manusia hanya dalam hubunganya dengan manusia lain dan dunia pada umumnya; sebaliknya dunia hanya didapatkan dalam hubunganya dengan manusia. Refleksi kongkrit dan menyeluruh atas individu manusia juga merupakan refleksi atas dunia; demikian pula sebaliknya. Maka sangat jelas bahwa dunia tidak mungkin dipahami tanpa adanya manusia, demikian juga manusia tidak mungkin tanpa dunia. Manusia dan dunia saling mengandung dan saling berimplikasi. Kedua adalah kesatuan formal. Refleksi manusia atas pribadinya bersama-sama dunia merupakan jalan yang mungkin satu-satunya. Hanya manusialah yang bertanya mengenai dunia, juga manusia saja yang benar-benar memiliki suatu proyek tentang dunia. Dengan demikian berarti hanya manusialah yang mempunyai hubungan dengan dunia secara sadar. Hanya di dalam diri dan melalui manusia sendiri dunia dapat disentuh secara formal sesuai hakikatnya, atau menurut mengadanya. Seumpama tidak berawal pada pengalaman manusia tentang dunia sendiri, maka filsafat membuat anomali yang tanpa dasar. Tanpa pengalaman sadar itu, dunia hanya didekati dari luar, tidak ada korelasi yang dekat, dan hanya akan menghasilkan pengetahuan yang berciri empiris semata. Jadi hanyalah refleksi atas otonomi-dalam-korelasi melalui manusia dapat memberikan pandangan tentang dunia secara hakiki. DAFTAR ACUAN Pustaka Adrongi, Kosmologi/Filsafat Alam Semesta. Kebumen: CV. Bintang Pelajar, 1986. Bakker, Anton, Kosmologi & Ekologi Filsafat Tentang Kosmos Sebagai Rumahtangga Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Ciptopawiro, Abdullah , Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Hardiyanti Rukmana, Butir-Butir Budaya Jawa Hanggayuh Kasampurnaning Hurip Berbudi Bawaleksana Ngudi Sejatinig Becik. Jakarta: Yayasan Purna Bakti Pertiwi, 1990. Hariwijaya, 2.500 Kata Bijak dari Jawa. Jakarta: Setia Kawan, 2005. Harsaja, Siswa, Pakem Makutarama. Jogjakarta: Pesat, 1954. Hazim, Amir, Nilai-Nilai Etis Wayang. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1997. Hudoyo, Suryo, Serat Bagawadgita. Surabaya: Djojo Bojo, 1990. Jasadipura, R.Ng., ”Serat Rama”. Babon Saking Koninklik Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen, t.th. Kats, J., Wayang Purwa. Dordrecht-Holland/Cinnaminson USA: Foris Publication. Translasi K. R. T. Kartaningrat, 1984. Kattsoff, Louis O., Elements of Philosophy. Terjemahan Soejono Soemargono.Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004. Kusumadiningrat, Serat Partawigena (Makutharama). Alih aksara S. Ilmi Albiladiyah. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku sastra Indonesia dan daerah, 1984. Leahy, Louis Sj., Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, BMK. Gunung Mulia, 1993. Moedjiono, Imam, Kepemimpinan dan Keorganisasian. Yogyakarta: UII Press. Padmasoekatja, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita, Jilid II. Surabaya: Citra Jaya Murti, 1992. Pendit, S., Nyoman, Mahabharata. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005. _______________, Ramayana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006. Poerwadarminta, W.J.S., Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters’ Uttgevers-Maatschappu n.v., 1939. Poespaningrat, Pramoedjoe, R.M. Nonton Wayang dari Berbagai Pakeliran. Yogyakarta: PT. BP. Kedaulatan Rakyat, 2005. Prawiraatmadja, Ngungak Isining Serat Astha Brata. Yogyakarta: Tjabang Bagian Bahasa Djawatan Kebudayaan Kem. P.P. dan K., 1958. Rachels, James, Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Scheler, Max, Nilai Etika Aksiologis, terjemahan Paulus Wahana. Yogyakarta: Kanisius, 2004. Sastra Amidjaja, Sena, Renungan Pertunjukan Wayang Kulit. Jakarta: Kinta, 1962. Soesilo, Ajaran Kejawen Philosofi dan Perilaku. Jakarta: Yusula, 2002. Soetarno, Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolik. Surakarta: STSI Press, 2005. Susetya, Wawan., Kepemimpinan Jawa. Yogyakarta: Narasi, 2007. Suseno, Franz Magnis, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996. Warna, I Wayan, “Kakawin Ramayana I, II”. Bali: Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I, 1987. Wignjasoetarna, Lampahan Makutarama Pedalangan Ringgit Purwa Wacucal. Surakarta: Yayasan P.D.M.N., 1972. Zoetmulder, Manunggaling Kawula Gusti Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Jogyakarta: Kanisius,1990.

Rabu, 11 September 2013

Pengetahuan Wayang

PENGETAHUAN PEDALANGAN Oleh Dr. Suyanto, S.Kar., MA. I. Pendahuluan Seni pertunjukan wayang lazim disebut pakeliran atau pedalangan. Pengertian pakeliran dalam hal ini bukan semata-mata karena pertunjukan wayang yang menggunakan sehelai kelir atau layar (screen), tetapi lebih pada arti teatrikal yang hubungannya dengan penyajian peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan dalam suatu kesatuan ceritera atau lakon. Di dalam dunia seni drama tradisi Jawa, seperti Kêthoprak, Wayang Wong, Ludrug dan lain-lainnya, penampilan adegan-adegan lazim disebut kelir. Misalnya kelir siji, kêlir loro, kêlir têlu, dan seterusnya. Termasuk wayang golek yang dalam sajiannya tidak menggunakan kelir juga disebut pakeliran. Disebut seni pedalangan karena seni pertunjukan ini dikemudikan oleh seorang dalang yang mengatur jalannya ceritera sepanjang sajian atau pertunjukan. Di dalam pertunjukan wayang kulit, dalang berperan sebagai sutradara, sebagai pemeran, sekaligus sebagai stage manager. Jadi dalam pertunjukan wayang kulit, dalang merupakan figur sentral yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pergelaran wayang. Apabila ditinjau dari bentuk pertunjukannya, seni pedalangan memiliki berbagai ragam bentuk, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II, antara lain seperti tertera berikut. a) Wayang Beber Pertunjukan wayang beber dilakukan oleh seorang dalang, sembari berceritera dengan menunjukkan gambar-gambar yang melukiskan kejadian-kejadian atau adegan penting dalam ceritera dimaksud yang dilukis pada kertas. Pada gulungan kertas itu menunjukkan isi dari ceritera yang dipentaskan (Mulyono,1975: 158). Ceritera yang dibawakan bersumber pada sejarah Jawa seputar kerajaan Majapahit, khususnya tentang kisah perjalanan Jaka Kembangkuning. b) Wayang Kulit (Purwa) Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasannya mengambil sumber ceritera pokok dari siklus Mahabharata, Ramayana, Lokapala, atau Arjunasasrabahu. Pemerannya atau wayangnya dapat berupa wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang (wong). Kata purwa menurut pendapat para ahli berasal dari kata parwa yang artinya bagian ceritera dari kitab Mahabharata atau Ramayana. Dalam masyarakat Jawa para generasi tua terutama menyamakan kata purwa dengan purba (zaman dahulu). Maka dari itu wayang purwa diartikan juga sebagai wayang yang menceriterakan kisah-kisah pada zaman dahulu (zaman purba). c) Wayang Madya Wujud wayang Madya ini mempunyai ciri khas yakni: bentuk badan sampai kepala seperti wayang purwa, sedangkan bentuk sor-soran-nya mirip wayang Gedog. Wayang ini dibuat dari kulit, ditatah dan disungging seperti wayang purwa pada umumnya. Pertunjukannya menggunakan iringan gamelan laras pélog. Dengan gending-gending dan sulukan khas garap untuk wayang Madya. Ceriteranya bersumber pada Serat Pustaka Raja Madya yang menuturkan lakon tokoh-tokoh keturunan Pandawa sejak Prabu Dipayana atau Parikesit hingga Prabu Jayabaya di Mamenang. d) Wayang Gedhog Wayang Gedhog dibuat dari kulit, ditatah dan disungging sebagaimana wayang kulit purwa. Ceriteranya bersumber pada siklus ceritera Panji, tokoh utamanya adalah Panji Asmarabangun atau Inu Kartapati putra Jenggala dan Dewi Sekartaji putri Kediri. Bentuk wayang Gedog memiliki ciri diantaranya tokoh-tokoh Panji mengenakan irah-irahan (mahkota) berupa têkês, dengan bentuk kain sor-soran rapèkan. Pertunjukannya seperti wayang madya, menggunakan iringan gamelan laras pélog. e) Wayang wasana. Pertunjukan wayang wasana ini terdapat beragam wayang, di antaranya: wayang Klithik atau wayang Krucil; bonekanya dibuat dari kayu dengan tangan dari kulit, ceriteranya mengambil dari serat Ménak (hikayat Amir Hamzah) atau Babat (Damarwulan). Wayang Suluh, bonekanya dibuat dari kulit dengan bentuk seperti manusia biasa, melukiskan tokoh-tokoh revolusi. Wayang Wahyu, bonekanya melukiskan para tokoh-tokoh pada zaman perjuangan Yesus, termasuk para Malaikat dan Iblis, wayang ini dipentaskan untuk dahwah kaum Kristiani. Wayang Pancasila, yaitu wayang purwa yang diberi atribut seperti para pahlawan perjuangan kemerdekaan, pertunjukannya seperti wayang kulit, tetapi ceriteranya mengambil dari sejarah perjuangan Indonesia. Wayang Perjuangan melukiskan tokoh-tokoh pejuang dan ceriteranya seputar perjuangan tahun 1945. Wayang Dupara yaitu wayang yang tokoh-tokohnya melukiskan tokoh-tokoh sejarah seputar zaman Mataram Islam. Wayang Sadat ini termasuk wayang untuk dakwah agama Islam. Dan lain-lainnya termasuk wayang-wayang baru yang bersifat temporer. Pada dasarnya di antara berbagai ragam bentuk pertunjukan wayang tersebut, meskipun dengan sumber ceritera dan gaya yang berbeda-beda, tetapi jika dilihat dari aspek pergelarannya memiliki kesamaan. Semua itu adalah termasuk betuk seni pedalangan. Seni pedalangan merupakan jenis seni pertunjukan yang melibatkan berbagai unsur kesenian lainnya. Sedikitnya terdapat tujuh unsur seni yang tergabung dalam seni pedalangan, diantaranya: seni drama, seni sastra, seni lukis, seni kriya, seni suara, seni karawitan, dan seni tari. Melalui unsur seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ceritera atau lakon. Dari unsur seni sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang indah dan menawan. Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata bahasa Jawa yang banyak diwarnai dengan penggunaan bahasa Kawi. Dengan kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan, menimbulkan kesan spesifik dan adiluhung. Dengan kehadiran unsur seni lukis atau rupa dapat dilihat bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan asesoris yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing wujud wayang. Dengan demikian seorang dalang ataupun penonton akan mudah melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya.

Selasa, 10 September 2013

WAYANG PURWA (Pondasi Peradaban Milenium)

WAYANG PURWO warisan Wali Songo adalah “tontonan dan tuntunan” adhiluhung yang compatible dengan semua agama, tampil sebagai seni budaya, dan sarat dengan muatan aneka ilmu pengetahuan. Medium pendidikan massa ini dikemas sebagai total arts, yang kehadirannya mewakili pagelaran seni ma’rifat atau meditative arts model audio-visual communication systems terpadu. Kini telah melampaui batas wilayah Nusantara, kemudian diakui menjadi milik dunia, yaitu sejak diproklamirkan oleh Unesco (PBB) sebagai “A Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity” pada tanggal 7 November 2003 di Paris, Perancis. Menyongsong era globalisasi segenap umat manusia seyogyanya menyadari adanya kesinambungan dan keterpaduan antar agama-agama yang beragam itu. Selanjutnya memahami adanya hubungan integralistic antara spiritualisme dan agama dengan seni-budaya dan sains-teknologi. Ini bermanfaat sebagai modal pembangunan Peradaban Milenium yang damai dan sejahtera. Dan kenyataan menunjukkan bahwasanya kekuatan suatu masyarakat atau bangsa ditopang oleh tiga pilar utama – agama, budaya dan karya (iptek). Paduan ini kemudian dirangkum dan ditampilkan oleh para Wali Songo melalui arsitektur mesjid, upacara Sekaten (peringatan Maulid Nabi SAW), dan pagelaran Wayang Purwo. Keseluruhannya telah menggambarkan pagelaran ’Puncak Tasawuf’ atau Zenith Sufism, yang sekaligus mewakili model Ahlus Sunnah wal jama’ah. Padanya terdapat pelajaran sistematika prinsip membangun konsep melalui holistic approach, dan menerapkan aplikasinya melalui integrated efforts atau networkings. ENS EST BONUM, PULCHRUM, VERUM – Dia itu baik, bagus, benar. Manusia selaku Khalifatullah di bumi lalu dinilai dari ethica, aesthetica, dan logica yang dimilikinya. Ini dilambangkan melalui dalang beserta seperangkat pakaiannya, ditambah sebilah keris tersarung yang disandang di belakang punggungnya. Dengan demikian wayang layak mendapat predikat par excellence (adhiluhung), karena telah menampilkan integrated systems yang padu dan harmonis. Para Wali Songo ternyata memiliki wawasan masa depan (visionary strategic thinking), karena mengajarkan perpaduan integralisme, perennialisme, dan holistic approach sekaligus. Bangsa Indonesia, yang berfalsafah Pancasila dan berpaham Bhineka Tunggal Ika, seyogyanya belajar dari warisan leluhurnya, sehingga menyadari bahwa agama-agama yang beraneka-ragam itu keseluruhannya merupakan mosaik ajaran TUHAN Yang Maha Esa. Wihdat ad Dyan atau Philosophia Perennis ini menggambarkan perihal tahapan proses ‘EXISTANCES’ (Onthologia). Kehadirannya berurutan diatur berpasangan complementary, yang seutuhnya merupakan bangunan Universitas AD-DINUL ALLAH. Ini terdiri daripada fakultas-fakultas ilmu kealaman (Cosmologia) yang diwakili oleh agama-agama Yahudi dan Tao (Cina), fakultas-fakultas ilmu humaniora (Anthropologia) yang diwakili oleh agama-agama Nasrani dan Hindu, fakultas-fakultas ilmu ketuhanan (Theologia) terwakili oleh agama-agama Ibrahim dan Buddha. Ibaratnya jejaring sarang laba-laba, keseluruhannya terintegrasikan saling bertauatan menjalin networks. Dinul Islam adalah muara semua agama-agama dan sekaligus penyempurna bagi seluruh agama-agama yang terdahulu (Ontologia), maka sebagai agama paling mutakhir disesuaikan dengan fitrah alami dinamika kehidupan manusia yang progresif. WAYANG PURWO – ibarat bangunan yang terintegrasi seutuhnya, model philosophia perennis yang paripurna. Pondasinya cosmologia yang berasal dari kepercayaan aseli Nusantara; pilarnya anthropologia yang bersumber agama Hindu; dan atap penutupnya theologia yang rujukannya adalah Dinul Islam. Warisan budaya adhiluhung ini tampil sebagai satu-satunya representasi Islam yang kaffah, dan merupakan pagelaran total arts ”tontonan dan tuntunan”. Mengandung pendidikan tentang ethica, aesthetica dan logica, sekaligus bermuatan paduan pelajaran tentang agama, budaya dan ilmu pengetahuan. KEBANGKITAN ISLAM 1. Gelombang I Jazirah ARABIA Abad VII Elementary Exclusive Maryam Shinta Emotional E.Q. Mediteranea 2. Gelombang II Jazirah IBERIA (Spanyol) Abad XIV Intermidiate Mixed Nabi Isa a.s. Leksmana Rational I.Q. Atlantic 3. Gelombang III Kepulauan NUSANTARA Abad XXI Advance Inclusive Ruhul Qudus R a m a Spiritual S.Q. Pacific Rim DINUL ISLAM - Gelombang Pertama (elementary) bangkit di jazirah Arabia, sebagai ’galur murni’ (embryo) masih tampil emotional dan exclusive (hitam-putih). Gelombang Kedua (intermidiate) bangkit di jazirah Iberia (Spanyol), sudah tampil berbobot rational dan mixed. Gelombang Ketiga (advance) telah terprogram akan bangkit di kepulauan Nusantara, maka akan tampil utuh berbobot spiritual dan inclusive. Perkembangan inipun bersesuaian dengan fitrah alami species manusia, baik sebagai individu ataupun masyarakat. Tahapan yang demikian sebelumnya ternyata sudah diisyaratkan melalui allegory dalam agama Nasrani, yaitu Maryam – Isa al-Masih – Ruhul Qudus. Paralel dengan itu, dalam agama Hindu juga telah disampaikan melalui lambang Shinta (Emotional Quotient), Leksmana (Intelligence Quotient), dan Rama (Spiritual Quotient). * * EKSPANSI ISLAM ke Barat dipelopori oleh ekspedisi militer sampai ke bibir pantai samudera Atlantik, di kawasan Maghribi ini lalu berkembang dan berhasil membangun peradaban tinggi. Dilambangkan sebagai sosok Baladewa yang bule (albino), rasional dan berwatak temperamental (Yang/Naar). Setelah peradaban Muslim ini runtuh, maka warisannya kemudian dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa penganut agama Nasrani untuk membangun peradaban modern hingga penghujung Milenium Kedua. Namun sebaliknya, ekspansi ISLAM yang ke arah Timur hingga ke ujung kepulauan Nusantara telah dirintis melalui ekspedisi perdagangan (penetration pacific). Lambangnya Kreshna (adiknya Baladewa) yang hitam (negro), spiritual dan bersifat bijaksana (Ying/Nuur). Kebangkitan ISLAM di kawasan Masyriq ini dipersiapkan untuk merintis pembangunan pondasi Peradaban Milenium Ketiga. Power Shift – sejarah mutakhir membuktikan adanya pergeseran tersebut, dari military power ke arah economic power. Dan pasokan kebutuhan enerji juga akan mengalami pergeseran, dari fission nuclear energy (divergent/al-basith ) akan digantikan oleh fusion nuclear energy (convergent/ al-qabidh). Dan seiring dengan itu senjata Nenggala (Baladewa) telah dijadwalkan akan digantikan oleh senjata Cakra (Kreshna). Buktinya, Industrial Military Complex (IMC) selaku primadona, kini kedudukannya sudah digusur oleh Information Technology (IT). PHILOSOPHIA PERENNIS yang didambakan oleh Fritjof Schuon itu ternyata sudah sejak berabad yang lampau diungkapkan oleh para Sufi terkemuka seperti Ibnu Arabi dan Jalaluddin Rumi. Para Wali Songo bahkan tampil mewakili Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, simbol team leadership, dan sekaligus sebagai peragaan lambang Wihdat Ad-Dyan atau Perennialism. Bilangan sembilan merupakan unify numeric symbolism bagi keseluruhan agama, yang tercatat berulang kali dalam berbagai Kitab Suci, dan juga tersirat melalui beragam logogram agama-agama. Zenith Tasawuf dan pondasi NeoSUFISM telah diajarkan oleh para Walisongo melalui aneka ”multimedia”, dan Wayang Purwo sebagai puncaknya. Ini dimaksudkan sebagai isyarat bahwa Bumi Pertiwi jauh hari sudah dipersiapkan menjadi lahan titik temu atau ”melting pot” beragam agama, lambangnya bunga Melati. AL QUR’AN apabila diperas kandungannya akan menjadi Al Asmaa’ al-Husna (QS VII Al A’raaf 179,180,181), jumlahnya seratus dikurangi satu, atau sembilan puluh sembilan (Hadits Nabi SAW). Dalam wayang purwo bilangan tersebut ditampilkan melalui keluarga Kurawa yang berjumlah seratus orang, terdiri dari sembilan puluh sembilan pria dan seorang wanita. Ini analog dengan kisah Nabi Daud a.s., yang diminta untuk mengadili sengketa perkara sembilan puluh sembilan ekor kambing dengan seekor kambing betina lainnya (QS 38:23). Para Wali Songo telah memanfaatkan mata-batinnya (spiritual eyes) untuk menyaksikan adanya hubungan integralistic antara Cosmology Jawa dengan agama Hindu (anthropologia) dan Dinul Islam (theologia).. BILANGAN 99 – apabila kedua bilangannya dijumlahkan akan menjadi 9 + 9 = 18 (delapan belas). Ini merupakan jumlah Bab Kitab Suci BHAGAVAT GITA (Hindu), atau jumlah hari berlangsungnya Bharata Yudha di palagan Kurusetra. BILANGAN 99 - kalau kedua bilangannya diperkalikan akan menjadi 9 x 9 = 81 (delapan puluh satu), sama dengan jumlah Bab (sya’ir) Kitab Suci TAO THE CHING (Agama Tao/Cina). Ini analog dengan simbol PAKUAH – Hexagram bersudut delapan, yang di dalamnya terdapat satu bulatan Tai Chi. Derivat atau kedua hasil perhitungan tersebut di atas ternyata telah membuktikan ada-nya integralisme atau kesatuan agama-agama, karena masing-masing telah menampilkan pasangan mirror images atau dextro-levo isomerism bagi lainnya (QS 16:48). KITAB INJIL - PERJANJIAN BARU Markus 15 25 Penyalibannya itu terjadi pada pukul sembilan pagi. 27 Bersama-sama dengan Yesus mereka menyalibkan juga dua orang penyamun; seorang di sebelah kanan dan seorang di sebelah kirinya. Wahyu 7 4 Dan aku mendengar jumlah mereka yang dimeteraikan itu : seratus empat puluh empat ribu, dari semua suku keturunan Israel. 5-8 Suku Bani Israel (12): masing-masing duabelas ribu orang. QS 69 Al Haqqah 17 (delapan malaikat menjunjung ’Arsy) – bilangan delapan dan satu tersebut merupakan simbol daripada unsur-unsur manusia seutuhnya, atau komposisi keseluruhan alam semesta raya (Big Bang theory/proses inflasi). Ini juga tersirat dalam logo-logo Tai Chi atau Yin-Yang (TAO), Mandala (HINDU), Swastika (BUDDHA), Ka’bah atau Bulan Bintang (ISLAM), Salib (NASRANI), dan Bintang Daud (YAHUDI). Dalam tradisi Batak terwakili oleh lambang Bindu Matogu. Di Indonesia juga ditampilkan sebagai simbol organik melalui para Wali Songo (9) dan sembilan orang penari Bedoyo Ketawang (Keraton Solo), sedangkan yang anorganik melalui Candi Gedong Songo (Jawa Tengah) dan Gordang Sambilan (Tapanuli). Agama-agama dan wayang purwo bermuatan pelajaran tentang symbolism dan futurism. Pentingnya peran symbol analyst dan futurist telah ditampilkan melalui kemampuan Nabi Yusuf a.s. sebagai model, yang pada masa lampau telah dimanfaatkan oleh Fir’aun. Manusia adalah homo symbolicum, di situlah letak kekuatan dan juga kelemahannya (Immanuel Kant). Kini mereka sedang digiring menuju ke Era Super-symbolic Economy (Alvin Toffler). Alam dan kehidupan manusia teleological programmed, diciptakan secara bertahapan sistematis, dengan pola geometris yang teratur dan berstruktur matematis yang terukur, serta terarah bertujuan dan sarat makna. Kesatuan agama-agama dan pesan-pesannya yang terangkum melalui wayang purwo itu akan lebih mudah terpahami oleh mereka yang mengenal numeric symbolism serta paham Pythagorean hermeneutics, sehingga kehadiran TUHAN Yang Maha Esa tidak diragukan, dan Wihdat ad Dyan atau Philosophia Perennis menjadi semakin jelas bagi mereka. Jumlah manusia semakin membengkak dan tuntutannyapun semakin menggelembung, sedangkan sumber alam semakin langka dan lingkungan bertambah kumuh oleh beragam pencemaran. Bayangan kelam ini sudah diisyaratkan melalui Al Qur’an, di samping itu juga diperingatkan bahwa “manusia diuji dengan harta dan anak” (QS 63:9/64:15). Dengan gambaran semacam ini terbayanglah di hadapan kita peledakan berbagai permasalahan yang amat dahsyat, bentuknya semakin rumit serta tingkat penanggulangannya bertambah muskil dan geraknya dinamis. Apabila tak terkendalikan, maka ungkapan filsuf Thomas Hobes yang mengerikan itu akan menjadi kenyataan – Homo homini lupus! Namun, di balik krisis lingkungan yang seiring dengan krisis peradaban global itu, terlihat semakin nyata adanya gejala kebangkitan agama-agama (Alvin Toffler), yang paralel dengan kebangkitan spiritualisme (John Naisbitt). Ini cukup diyakini sebagai tanda-tanda awal daripada proses transformasi menuju Kebangkitan Peradaban Mondial Milenium Ketiga, yang diisyaratkan melalui Al Qur’an sebagai prophecy atau nubuat Kebangkitan Isa al-Masih (QS 3:55/19:33). Ini analog dengan pagelaran wayang purwo ‘Kresno Gugah’ atau ‘Wahyu Cakraningrat’. Fenomena alamiah ini bersifat paradox tapi complementary sekaligus, yang terdorong tampil ke permukaan karena survival instinct manusia. Naluri alami yang muncul dari bawah sadar ini, merupakan peringatan dini anti-sipasi menyongsong kehadiran apocalyptic threat mendatang – yang kini jadi kenyataan. Di berbagai penjuru bumi juga muncul pergeseran kepemimpinan, semakin banyak wanita tampil menjadi pemimpin Negara, baik di Barat maupun di Timur. Di Barat benteng kepemimpinan masculine Jerman, warisan tradisi militer Prusia, telah runtuh digusur oleh Angela Merkel. Di Timur terbit “Matahari Kembar”, Megawati Soekarnoputri dan Gloria Macapagal Arroyo, yang menggeser presiden-presiden pria terpilih. Kenyataan ini apakah merupakan perlambang Kebangkitan Bunda Maryam, yang merintis Kebangkitan Isa al-Masih di atas? Dalam kisah Bharata Yudha, Pendawa dipandu oleh Kreshna, namun juga tampil seorang wanita sebagai Senapati, yaitu Srikandi yang diunggulkan menandingi Bhisma, seorang pandita yang sakti dan disegani. POWER SHIFT – soft power plus flexy leadership akan menggusur hard power plus tough leadership. John Houge mengungkapkan: “I contend that we all suffer from prophet’s block. Most of us have been programmed to act like ostriches, to hide our heads from premonition of change. A premonition of apocalypse – whether personal or global – may be a blessing in disguise. We can use precognition as an alarm to wake up in time and steer our destiny out of harm’s way.” (The Millenium Book of Prophecy, 1994). John Naisbitt dan Patricia Aburden menulis buku ”Megatrends 2000” (1990), kemudian disusul dengan buku ”Megatrends 2010”. Namun ribuan tahun sebelumnya ALLAH Rabbul ’Alamin telah menurunkan Kitab ”Megatrends ad Infinitum” secara berkesinambungan (QS 10:61). Di samping itu juga diiringi dengan tambahannya, ternyata Wayang Purwo warisan Wali Songo itu merupakan complement utamanya, dan sejarah Nusantara sebagai suplement pelengkapnya (QS 20:114). Terbukti, di dalam aneka fenomena yang digelar kini, sudah terekam berbagai informasi peristiwa masa lampau (past history), dan sekaligus telah terprogram data masa depannya (future history). Dan kini tibalah saatnya untuk memanfaatkan Transcendental Information ataupun Prophetic Intelligence. Sehubungan dengan itu ungkapan Adrian M. MacDonough berikut ini layak disimak dan diamalkan. ”The problem facing management today is not what action should be taken to meet present conditions, for those actions should have been taken yesterday; rather the problem is what action must they take today to meet future conditions and to insure corporate survival.” (Information Management, 1983). Q.S. 13 AR RA’D 11 Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah ALLAH. Sesungguhnya ALLAH tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila ALLAH menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Bangsa Indonesia semestinya menyadari bahwa sesungguhnya Wayang Purwo itupun merupakan medium ‘pendidikan luhur’ (advance education), sarana up-grading sumber daya manusia yang berspektrum luas dan luwes. Ini sudah dipersiapkan untuk mengangkat harkat serta martabat bangsa Indonesia, yang sekaligus akan menjadi pondasi Peradaban Milenium. Menyongsong “cultural warfare” di masa depan, maka warisan budaya adhiluhung ini seyogyanya benar-benar dijaga mutunya, dilestarikan pamor intelektualnya, dan dikembangkan wawasannya. Selanjutnya dipromosikan ke segala penjuru bumi, supaya kelak menjadi rahmat untuk seluruh alam dan berkah bagi segenap umat.

Jagad Ginelar slide 9 (Tancep Kayon) DR. Suyanto

Jagad Ginelar slide 8

Jagad Ginelar slide 7

Jagad Ginelar slide 6

Jagad Ginelar slide 5

Jagad Ginelar slide 34

Jagad Ginelar slide 3

Jagad Ginelar slide 2

DR. Suyanto_Jagad Ginelar

Senin, 09 September 2013

Pengetahuan Pedalangan

Tahap Pembelajaran 1a Tujuan Pembelajaran Umum (TPU): Setelah memperoleh pembelajaran ini para Dwija dapat menjelaskan medium pokok, macam-macam perabot fisik, unsur-unsur garap pakeliran, sumber lakon dan genealogi wayang purwa, serta korelasinya dalam sajian pertunjukan wayang. PENDAHULUAN Seni pertunjukan wayang lazim disebut pakeliran atau pedalangan. Pengertian pakeliran dalam hal ini bukan semata-mata karena pertunjukan wayang yang menggunakan sehelai kelir atau layar (screen), tetapi lebih pada arti teatrikal yang hubungannya dengan penyajian peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan dalam suatu kesatuan ceritera atau lakon. Di dalam dunia seni drama tradisi Jawa, seperti Kêthoprak, Wayang Wong, Ludrug dan lain-lainnya, penampilan adegan-adegan lazim disebut kelir. Misalnya kelir siji, kêlir loro, kêlir têlu, dan seterusnya. Termasuk wayang golek yang dalam sajiannya tidak menggunakan kelir juga disebut pakeliran. Disebut seni pedalangan karena seni pertunjukan ini dikemudikan oleh seorang dalang yang mengatur jalannya ceritera sepanjang sajian atau pertunjukan. Di dalam pertunjukan wayang kulit, dalang berperan sebagai sutradara, sebagai pemeran, sekaligus sebagai stage manager. Jadi dalam pertunjukan wayang kulit, dalang merupakan figur sentral yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pergelaran wayang. Apabila ditinjau dari bentuk pertunjukannya, seni pedalangan memiliki berbagai ragam bentuk, sebagaimana telah dijelaskan di depan, antara lain seperti tertera berikut. a) Wayang Beber Pertunjukan wayang beber dilakukan oleh seorang dalang, sembari berceritera dengan menunjukkan gambar-gambar yang melukiskan kejadian-kejadian atau adegan penting dalam ceritera dimaksud yang dilukis pada kertas. Pada gulungan kertas itu menunjukkan isi dari ceritera yang dipentaskan (Mulyono,1975: 158). Ceritera yang dibawakan bersumber pada sejarah Jawa seputar kerajaan Majapahit, khususnya tentang kisah perjalanan Jaka Kembangkuning. b) Wayang Kulit (Purwa) Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasannya mengambil sumber ceritera pokok dari siklus Mahabharata, Ramayana, Lokapala, atau Arjunasasrabahu. Pemerannya atau wayangnya dapat berupa wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang (wong). Kata purwa menurut pendapat para ahli berasal dari kata parwa yang artinya bagian ceritera dari kitab Mahabharata atau Ramayana. Dalam masyarakat Jawa para generasi tua terutama menyamakan kata purwa dengan purba (zaman dahulu). Maka dari itu wayang purwa diartikan juga sebagai wayang yang menceriterakan kisah-kisah pada zaman dahulu (zaman purba). c) Wayang Madya Wujud wayang Madya ini mempunyai ciri khas yakni: bentuk badan sampai kepala seperti wayang purwa, sedangkan bentuk sor-soran-nya mirip wayang Gedog. Wayang ini dibuat dari kulit, ditatah dan disungging seperti wayang purwa pada umumnya. Pertunjukannya menggunakan iringan gamelan laras pélog. Dengan gending-gending dan sulukan khas garap untuk wayang Madya. Ceriteranya bersumber pada Serat Pustaka Raja Madya yang menuturkan lakon tokoh-tokoh keturunan Pandawa sejak Prabu Dipayana atau Parikesit hingga Prabu Jayabaya di Mamenang. d) Wayang Gedhog Wayang Gedhog dibuat dari kulit, ditatah dan disungging sebagaimana wayang kulit purwa. Ceriteranya bersumber pada siklus ceritera Panji, tokoh utamanya adalah Panji Asmarabangun atau Inu Kartapati putra Jenggala dan Dewi Sekartaji putri Kediri. Bentuk wayang Gedog memiliki ciri diantaranya tokoh-tokoh Panji mengenakan irah-irahan (mahkota) berupa têkês, dengan bentuk kain sor-soran rapèkan. Pertunjukannya seperti wayang madya, menggunakan iringan gamelan laras pélog. e) Wayang wasana. Pertunjukan wayang wasana ini terdapat beragam wayang, di antaranya: wayang Klithik atau wayang Krucil; bonekanya dibuat dari kayu dengan tangan dari kulit, ceriteranya mengambil dari serat Ménak (hikayat Amir Hamzah) atau Babat (Damarwulan). Wayang Suluh, bonekanya dibuat dari kulit dengan bentuk seperti manusia biasa, melukiskan tokoh-tokoh revolusi. Wayang Wahyu, bonekanya melukiskan para tokoh-tokoh pada zaman perjuangan Yesus, termasuk para Malaikat dan Iblis, wayang ini dipentaskan untuk dahwah kaum Kristiani. Wayang Pancasila, yaitu wayang purwa yang diberi atribut seperti para pahlawan perjuangan kemerdekaan, pertunjukannya seperti wayang kulit, tetapi ceriteranya mengambil dari sejarah perjuangan Indonesia. Wayang Perjuangan melukiskan tokoh-tokoh pejuang dan ceriteranya seputar perjuangan tahun 1945. Wayang Dupara yaitu wayang yang tokoh-tokohnya melukiskan tokoh-tokoh sejarah seputar zaman Mataram Islam. Wayang Sadat ini termasuk wayang untuk dakwah agama Islam. Dan lain-lainnya termasuk wayang-wayang baru yang bersifat temporer. Pada dasarnya di antara berbagai ragam bentuk pertunjukan wayang tersebut, meskipun dengan sumber ceritera dan gaya yang berbeda-beda, tetapi jika dilihat dari aspek pergelarannya memiliki kesamaan. Semua itu adalah termasuk betuk seni pedalangan. Seni pedalangan merupakan jenis seni pertunjukan yang melibatkan berbagai unsur kesenian lainnya. Sedikitnya terdapat tujuh unsur seni yang tergabung dalam seni pedalangan, diantaranya: seni drama, seni sastra, seni lukis, seni kriya, seni suara, seni karawitan, dan seni tari. Melalui unsur seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ceritera atau lakon. Dari unsur seni sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang indah dan menawan. Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata bahasa Jawa yang banyak diwarnai dengan penggunaan bahasa Kawi. Dengan kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan, menimbulkan kesan spesifik dan adiluhung. Dengan kehadiran unsur seni lukis atau rupa dapat dilihat bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan asesoris yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing wujud wayang. Dengan demikian seorang dalang ataupun penonton akan mudah melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya. Pengetahuan dasar pedalangan memberikan pemahaman kepada para pembelajar seni pedalangan, tentang berbagai elemen dasar pedalangan yang mutlak harus dikuasai oleh seoarang dalang. Elemen-elemen dasar dimaksud meliputi: medium, perabot fisik, unsur-unsur garap pakeliran, sumber lakon dan genealogi wayang, serta korelasinya dalam sajian pakeliran. Tahap Pembelajaran 1b Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mengikuti pembelajaran ini para Dwija diharapkan dapat menjelaskan medium pokok seni pedalangan dan perabot fisik pertunjukan wayang. Pokok Bahasan: Medium Pedalangan dan perabot fisik pertunjukan wayang. Deskripsi singkat Materi dalam pertemuan ini menjelaskan tentang pengertian medium pedalangan dan ragam medium pokok pedalangan, meliputi: bahasa, suara, gerak, dan rupa, macam-macam perabot fisik pertunjukan wayang, serta implemengtasinya dalam pertunjukan wayang. Bacaan Wajib 1. Bambang Murtiyoso. Pengetahauan Pedalangan. Surakarta: ASKI, 1982. 2. Bambang Murtiyoso, Sumanto, Suyanto, Kuwato. Teori Pedalangan Bunga Rampai Elemen-Elemen Dasar Pakeliran, 2009. PENGETAHUAN PEDALANGAN I (Pengetahuan Pertunjukan 1) A. Medium Pertunjukan a) Pengertian Medium Seni pedalangan merupakan salah satu jenis seni pertunjukan yang melibatkan berbagai unsur kesenian lainnya, di antaranya: seni sastra, seni kriya, seni drama, seni karawitan, dan lain-lainnya. Seperti halnya seni pertunjukan lainnya, seni pedalangan memiliki bahan baku yang disebut medium. Medium berasal dari kata media yang secara umum diartikan sarana bantu atau alat bantu. Gendon Humardani memberikan pengertian medium di dalam kesenian sebagai bahan baku yang digarap. Seni pedalangan agak berbeda dengan seni pertunjukan lainnya. Seni karawitan memiliki medium pokok tunggal yaitu suara, seni tari memiliki medium pokok tunggal yakni gerak; sedangkan pedalangan memiliki medium lebih dari satu atau disebut medium ganda. b) Jenis Medium Pedalangan Apabila ditinjau dari jenisnya medium pedalangan terdiri dari 4 (empat) jenis medium pokok yang berupa: 1) Bahasa Bahasa merupakan bahan baku yang digarap sebagai media ungkap dalam wujud wacana dan vocal dalang. Wacana dalang yang dalam dunia pedalangan biasa disebut dengan basa pedalangan, yaitu bahasa Jawa yang digunakan khusus dalam seni pedalangan. Pengertian basa atau bahasa dalam hal ini bukan bahasa dalam arti linguistik , tetapi bahasa sebagai media ungkap kesenian. Di dalam seni pedalangan ungkapan lewat bahasa ini dapat berupa narasi (janturan, pocapan) maupun dialog (ginem). Selain itu bahasa juga digunakan sebagai media ungkap vokal dalang dalam wujud cakepan sulukan. 2) Suara Suara adalah bahan baku yang digarap sebagai sarana ungkap wacana, vocal dalang, maupun karawitan pakeliran. Ungkapan wacana dalam pedalangan tidak sekedar ungkapan bahasa sebagai sarana komunikasi, akan tetapi ungkapan wacana itu harus mengacu pada wujud dan karakter tokoh wayang. Dalam hal ini pengolahan suara sangat menentukan keberhasilan sajian wacana wayang, dengan pengolahan suara yang tepat akan memperjelas perbedaan wujud dan karakter tiap-tiap tokoh yang tampil. Selain itu vocal dalang juga memerlukan lagu yang merupakan hasil pengolahan suara dalang, dengan lagu vokal akan mendukung tampilan suasana tokoh maupun adegan tertentu. Adi sisi lain karawitan pakeliran juga merupakan hasil olahan suara yang berupa ungkapan tembang dan gending. 3) Gerak Gerak sebagai bahan baku yang diolah sebagai media ekspresi gerak wayang. Salah satu tugas seorang dalang adalah menghidupkan tempilan wayang lewat ekspresi gerak. Penampilan gerak wayang tidak sekedar gerak dalam arti move (obah), melainkan gerakan yang ekspresif berkesan hidup dan sesuai dengan karakteristik wayang yang tampil. 4) Rupa Rupa adalah bahan baku yang diolah sebagai sarana ungkap wujud wayang. Rupa dalam hal ini mencakup tampilan bentuk, warna, dan karakter. Di dalam pedalangan tradisi Jawa penampilan tokoh wayang dalam suatu sajian pakeliran tidak sekedar menampilkan wayang sesuai dengan namanya, tetapi perlu mempertimbangkan suasana adegan, suasana tokoh, dan karakternya. Oleh karena itu wayang jawa pada tokoh-tokoh tertentu yang dianggap mempunyai peran penting, satu tokoh dibuat lebih dari satu boneka wayang yang masing-masing mempunyai perbedaan yang disebut wanda. Misalnya tokoh Arjuna mempunyai wanda: jimat, kinanthi, pengasih, pengawe, muntap, brongsong, dan sebagainya. Dalam hal ini pengolahan medium rupa menjadi sangat penting. c) Bentuk Medium Apabila ditinjau dari bentuk dalam sajian pekeliran , medium pedalangan terdiri dari berbagai bentuk antara lain: 1. Wacana; (deskripsi, narasi, dialog wayang) 2. Lagu; (gending, suluk, tembang) 3. Penampilan wayang d) Fungsi Medium Fungsi medium pedalangan adalah: 1. Sebagai bahan baku yang digarap dalam sajian pakeliran/pedalangan, baik berupa wacana, vocal dalang, maupun karawitan pakeliran. 2. Sebagai sarana/media ekspresi sesuai dengan kepentingan suasana adegan, suasana tokoh, dan karakter wayang. B. Perabot Fisik Pertunjukan Wayang Di samping memiliki medium pokok, seni pertunjukan juga memiliki berbagai perabot yang bersifat fisik. Adapun perabot fisik itu dalam aplikasinya terdiri dari dua golongan, yaitu perabot fisik utama dan perabot fisik pendukung. Perabot fisik utama ini merupakan perangkat yang harus dipenuhi dalam suatu pertunjukan wayang, karena jika kurang salah satu di antaranya akan sangat mengganggu jalannya pertunjukan. Sedangkan perabot fisik pendukung keberadaannya tidak mutlak harus ada tetapi sebagai sarana pendukung pertunjukan untuk menjadi lebih sempurna. Adapun perabot utama itu adalah sebagai berikut. a) Perangkat gamelan sebagai media atau alat yang berperan sebagai sumber bunyi/suara untuk menyajikan komposisi gending-gending, termasuk lagu, tembang dan sulukan, sebagai pendukung suasana pakeliran. Pada zaman dulu gamelan untuk mengiringi wayang ini merupakan perangkat khusus yang disebut gongsa wayangan, yakni perangkat gamelan yang cukup sederhana. Gamelan ini hanya laras sléndro, yang terdiri atas beberapa instrumen saja, seperti: gêndèr barung, slênthêm, dêmung, saron barung, saron pênêrus, gambang, tiga buah kênong berlaras 2, 5, 6, dan kêthuk kêmpyang, serta sebuah gong suwukan dan sebuah kêmpul berlaras nêm, serta kêcèr sebagai ciri khas gamelan wayangan. Namun dalam perkembangannya sekarang gamelan wayangan itu perangkatnya diperbesar menjadi perangkat gamêlan agêng, dengan laras sléndro dan pélog, intrumennya serba dobel, akibatnya pengrawitnya-pun menjadi semakin banyak. Itupun masih ditambah instrumen non gamelan seperti bedug, orgen, dan simbal. b) Panggungan, terdiri atas gawang, kêlir, sligi, dêbog, tapak dara, placak, pluntur, dan bléncong/lampu. Adapun penjelasannya sebagai berikut: a. Gawang adalah frame atau bingkai untuk membentang kelir juga disebut blandaran. Ini untuk menambatkan pluntur kelir bagian atas agar dapat ditarik ke atas sehingga kelir menjadi kencang. b. Kêlir (screen) terbuat dari kain putih tipis tetapi yang kuat, sehingga apabila digunakan untuk penampilan wayang bayangannya nampak jelas. Pada bagian atas diplipit dengan kain hitam (kadang-kadang juga merah atau biru) yang disebut palangitan (asal kata langit/angkasa), demikian pula halnya pada bagian bawah disebut palêmahan (asal kata lêmah/bumi). c. Sligi biasanya dibuat dari kayu atau bambu tebal dalam bentuk bulat panjang, sepanjang ukuran lebar kelir bahkan lebih sedikit, karena sligi ini pada umumnya bagian atas menancap pada blandaran, bagian bawah menancap pada dêbog. Sligi ini berfungsi sebagai pembentang kelir di bagian kanan dan kiri, sehingga kelir menjadi kencang. d. Dêbog atau batang pohon pisang yang mempunyai fungsi utama untuk mencacakkan wayang baik wayang simpingan maupun wayang dalam adegan pakeliran. Di samping itu dêbog juga berfungsi untuk menancapkan placak kêlir dan sligi. Debog ini terdapat dua bagian yaitu dêbog atas dan dêbog bawah. Dêbog atas fungsinya selain untuk menancapkan wayang simpingan, khusus pada bagian tengah kurang lebih sepanjang satu setengah meter dikosongkan untuk panggungan wayang, khususnya tokoh-tokoh yang berkedudukan tinggi, seperti para raja dan pendeta, ataupun dewa-dewa. Sedangkan dêbog bawah ukurannya hanya sepanjang panggungan, ini untuk mencacakkan tokoh-tokoh wayang dalam adegan yang kedudukannya di bawah raja, misalnya: patih, pangeran pati, abdi tumenggung, panakawan, dan emban. Ukuran panjang atau pendeknya dêbog atas ini bergantung pada panjang dan pendeknya simpingan wayang. e. Tapakdara yaitu penyangga dêbog-dêbog tersebut, tapakdara ini memiliki tiga ujung runcing ditancapkan pada debog atas maupun bawah, dengan ukuran standar sesuai kebiasaan dalang pada umumnya. f. Placak adalah kait yang dibuat dari bambu atau logam (besi/kuningan) sebagai penghubung kolong kelir atau plathêt bagian bawah dengan dêbog, jumlahnya sesuai dengan jumlah plathêt, sehingga pada waktu placak menancap pada dêbog, kêlir menjadi kencang dan kuat. g. Pluntur yaitu seutas tali dari lawé atau benang katun yang ditambang kurang lebih sebesar jari kelingking, sebagai pengikat antara kolong kelir atau plathêt bagian atas dengan blandaran atau gawang untuk menahan kêlir bagian atas agar tetap kencang. h. Bléncong adalah lampu untuk penerangan panggung wayang. Pada zaman dahulu bléncong ini dibuat dari logam tembaga atau kuningan, dinyalakan dengan sumbu yang dihubungkan dengan minyak kelapa, tetapi sekarang sudah tidak berlaku lagi karena bléncong itu sudah diganti dengan lampu halogin. Semua perabot tersebut mempunyai peran membentuk jagad wayang atau dunia tempat peristiwa pakeliran berlangsung. c) Kotak sebagai tempat menyimpan wayang yang akan dan selesai ditampilkan, serta berfungsi sebagai sumber bunyi bersama-sama dengan cêmpala dan atau kêprak; yang dimanipulasi oleh dalang sehingga menghasilkan bunyi dhodhogan atau kêprakan. Kotak wayang pada umumnya dibuat dari kayu (kayu surèn), dalam betuk pesegi panjang lengkap dengan tutupnya. Kotak ini ditempatkan di sebelah kiri dalang, sedangkan tutupnya diletakkan di sebelah kanan dalang. Kotak ini merupakan satu rangkaian dengan kêprak atau kêcrèk dan cêmpala. Kêprak atau kêcrek dibuat dari logam (perunggu, kuningan, atau monel) dengan ukuran standar, satu set kêprak pada umumnya terdiri atas empat keping. Kêprak itu digantungkan dibibir kotak sebelah kanan (kiri dalang) tepat pada posisi telapak kaki dalang sebelah kanan ketika dalang duduk bersila. Keprak itu ditata sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bunyi yang sesuai dengan selera dalang. d) Wayang yang ditata di kelir dalam bentuk simpingan kanan dan kiri membentuk kesan estetik dan berfungsi sebagai pembatas jagading wayang. Adapun wayang yang ditampilkan berperan sebagai gambaran tokoh-tokoh atau benda-benda tertentu. Satu set wayang dalam satu kotak terdiri dari: wayang simpingan, wayang dhudhahan, dan wayang ricikan. Wayang simpingan yaitu wayang-wayang yang ditata atau dicacakkan di dêbog sebelah kanan dan kiri dalang secara teratur sesuai dengan wujud dan ukurannya. Wayang dhudhahan yaitu wayang-wayang yang disiapkan di dalam kotak atau di atas tutup kothak yang selalu siap ditampilkan oleh dalang, pada umumnya berupa tokoh para dewa, raksasa, para ksatriya Korawa, para pendeta, prajurit kera, dan para panakawan dan dhagêlan.. Adapun wayang ricikan adalah wayang-wayang yang berbentuk bukan tokoh manusia, melainkan binatang, kereta, barisan (ramppogan), gamanan, dan property lain-lain (Sumanto, 2005: 7). C. Perabot Fisik Pendukung Sesuai dengan kemajuan tehnologi yang semakin canggih, seni pedalangan dalam perkembangannya tidak ketinggalan. Untuk mendukung keberhasilan suatu pergelaran tidak lepas dari sarana pendukung fisik seperti perangkat sound system. Perangkat sound system ini sangat menentukan keberhasilan suatu pertunjukan, karena dengan sarana ini suara dari dalang maupun semua perangkat pendukung pergelaran dapat dinikmati oleh penonton dari jarak jauh. Selain itu dengan sound system yang bagus, akan sangat membantu suara dalang menjadi lebih mantap dan lebih jelas. Dengan demikian dalang tidak terlalu banyak membuang energi, begitu pula para swarawati dan suara gamelan dapat diatur sedemikian rupa, sehingga menjadi alunan suara yang harmonis. Selain sound system, pada perkembangannya sekarang terdapat pula beberapa dalang yang laku di masyarakat melengkapi sarana pendukung pakelirannya dengan menggunakan sound effect dan lighting effect atau tata cahaya. Sound effect digunakan untuk mendukung adegan-adegan tertentu, misalnya: adegan di tengah hutan diberi kicauan burung-burung, adegan di samodera diisi dengan suara ombak gemuruh, begitu pula adegan-adegan peperangan dihiasai dengan suara desisan anak panah, dan senjata-senjata lainnya. Tampilan-tampilan sound effect itu biasanya disertai pula dengan tampilan lighting effect sesuai dengan suasana yang diinginkan, sehingga pertunjukan nampak lebih menarik para penonton. Tahap Pembelajaran 2 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mendapatkan materi ini para dwija diharapkan dapat menjelaskan berbagai unsur pakeliran dan korelasinya dalam pertunjukan wayang. Deskripsi singkat: Materi ini berupa penjelasan tentang unsur-unsur pertunjukan wayang meliputi: pelaku pertunjukan dan unsur-unsur garap pakeliran terdiri dari: catur, sabet, kafrawitan pakeliran, dan korelasinya dalam pertunjukan wayang. Bacaan Wajib 1. Bambang Murtiyoso. Pengetahauan Pedalangan. Surakarta: ASKI, 1982. 2. Bambang Murtiyoso, Sumanto, Suyanto, Kuwato. Teori Pedalangan Bunga Rampai Elemen-Elemen Dasar Pakeliran, 2009. PENGETAHUAN PEDALANGAN 2 (Unsur-Unsur Pertunjukan) a) Pelaku Pertunjukan Pertunjukan atau pergelaran wayang merupakan salah satu bentuk seni pertunjukan tradisional yang bersifat kolektif bahkan dapat disebut kolosal, oleh karena pertunjukan wayang tersebut melibatkan banyak seniman. Pelaku pertunjukan wayang (kulit) terdiri dari seorang dalang, pengrawit, dan swarawati atau pesindhen. Pada jaman dulu pergelaran wayang cukup sederhana, dengan menggunakan perangkat gamelan wayangan yang jumlahnya relatif terbatas sehingga jumlah pengrawitnya pun relatif sedikit. Seorang dalang cukup diiringi oleh sepuluh orang pengrawit bahkan tidak ada suwarawati, itu pun sudah menjadi hiburan yang meriah. Akan tetapi seiring dengan perkembangan budaya jaman, pertunjukan wayang tidak kalah juga dengan kesenian lainnya, bahkan wayang menjadi kesenian yang sangat mahal dibanding dengan seni pertunjukan lainnya. Seorang dalang profesional kemungkinan didukung oleh 25 orang pengrawit atau lebih, karena perangkat gamelan yang digunakan adalah gamelan ageng laras slendro dan pelog dengan instrumen serba dobel, itu pun masih ditambah instrumen non gamelan (musik). Sekian banyak pengrawit itu masih ditambah dengan pemain musik, para penggerong dan masih menggunakan Waranggana atau Swarawati yang jumlahnya minimal mencapai lima sampai sepuluh orang. Pergelaran wayang yang sedemikian kolosal itu dan termasuk segala hal yang berhubungan dengan aspek pergelaran dikendalikan oleh seorang dalang. Dalang adalah seorang figur sentral dalam pertunjukan wayang yang berperan ganda, selain sebagai sutradara dalang juga sebagai pemeran, sekaligus sebagai stage manager. Di dalam istilah budaya pedalangan Jawa Timuran terdapat sebutan Dalang Purba-wasesa, maksudnya dalang adalah simbol figur penguasa yang berwenang mengendalikan jalannya pertunjukan. Dalang adalah figur sentral yang bertanggungjawab terhadap jalannya pertunjukan. Ia di samping berperan sebagai penyaji juga sebagai juru penerang, juru pendidik, juru penghibur, dan sekaligus sebagai direktur artistik (art director). Di dalam menyajikan pakelirannya, seorang dalang mempunyai tiga fungsi sosial yaitu: (1) Sebagai komunikator; dalang melalui pergelaran wayang menyampaikan pesan-pesan sosial, sperti pesan pembangunan masyarakat, pembangunan moral spiritual, program Keluarga Berencana, yang dikemas dalam bahasa pertunjukan wayang dengan tidak mengurangi nilai-nilai estetik seni pedalangan. (2) Sebagai inovator; dalang harus memiliki orientasi ke masa depan, karya sajiannya harus diisi dengan pesan-pesan yang relevan dengan perkembangan jaman dan dapat menjadi motivasi perubahan sosial. (3) Sebagai emansipator; bahwa seniman dalang sedapat mungkin mengantarkan para penonton, baik secara kelompok maupun individu ke tingkat kepribadian yang lebih tinggi melalui peningkatan daya apresiasi dan kepekaan rasa, yang pada gilirannya akan memperkaya pengalaman jiwa sehingga dapat berpengaruh positif terhadap perilaku dan perubahan sikap (Soetarno, 1987: 3). b) Unsur Garap Pakeliran Seni pedalangan merupakan satu kesatuan dari berbagai perabot atau unsur baik bersifat fisik maupun non fisik. Perabot fisik berbagai unsur kasat mata yang berperan penting dalam sajian pakeliran sebagai sarana ekspresi; misalnya: gamelan, wayang, gawang, kelir, kotak, dan lain sebagainya. Sedangkan perabot non fisik adalah unsur-unsur yang nir kasat mata, berupa ide atau gagasan yang diekspresikan melalui pengolahan medium yang sesuai dengan kebutuhan. Misalnya ekspresi berupa suara lagu, wacana, gerak, dan sebagainya. Jadi pada dasarnya antara perabot fisik dan unsur-unsur garap itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Perabot garap berperan sebagai sarana ekspresi dari unsur-unsur garap, sedangkan unsur-unsur garap itu akan berarti apabila diungkapkan lewat bentuk-bentuk ekspresi sesuai dengan tuntutan suasananya. c) Jenis Unsur-Unsur Garap Apabila ditinjau dari jenisnya unsur-unsur garap pakeliran terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu: 1. Catur 2. Sabet 3. Suluk 4. Karawitan pakeliran c) Bentuk Unsur-Unsur Garap Apabila ditinjau dari bentuk dalam sajian pekeliran , Unsur-unsur Garap pakeliran ini terdiri dari berbagai ragam bentuk yaitu: 4. Wacana; berupa janturan, pocapan dan ginem wayang; 5. Penampilan wayang; jejeran, playon, perang; 6. Iringan pakeliran; sulukan, dodogan/keprakan; gending, tembang. d) Fungsi Unsur-Unsur Garap Pakeliran Ditinjau dari fungsinya, unsur-unsur garap pakeliran berfungsi sebagai berikut: 1. Sebagai sarana pokok yang melandasi garapan suatu sajian pakeliran. 3. Sebagai pijakan untuk mengembangkan sanggit sajian suatu ceritera atau lakon dalam pakeliran, baik lewat catur, sabet, maupun iringan pakeliran. Penjelasan A. Catur Seni pedalangan mengandung berbagai unsur kesenian lain, diantaranya: seni sastra, seni kriya, seni drama, seni karawitan, dan sebagainya. Seni sastra merupakan bagian yang sangat dominan di dalam seni pakeliran wayang purwa, karena dalang banyak mengekspresikan suasna-suasana adegan maupun tokoh lewat wacana yang disebut catur. Pengertian catur di dalam pakeliran adalah semua wujud bahasa atau wacana yang diucapkan oleh dalang di dalam pakeliran (Bambang Murtiyoso 1981:6). Pendapat lain menyatakan bahwa catur ialah semua bentuk ekspresi dalang lewat wacana yang berupa narasi maupun dialog tokoh dalam pakeliran. Pada dasarnya catur merupakan hasil pengolahan medium bahasa dan suara. B. Jenis Catur Di dalam pakeliran gaya Surakarta catur ditijau dari aspek penggunaannya dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu: 1. Janturan 2. Pocapan 3. Ginem Agar hal tersebut mudah dipahami, berikut ini akan dijelaskan mengenai pengertian, ragam, fungsi, dan contoh-contoh janturan, pocapan, maupun ginem secara detil. A. Janturan a) Pengertian Janturan Janturan adalah wacana dalang yang berupa deskripsi suatu adegan yang sedang berlangsung, mencakup suasana tempat (negara), tokoh, dan peristiwa, dengan diiringi gending sirepan. Dilihat dari aspek kesusastraan yang digunakan, janturan mempunyai ciri khas sebagai berikut: a. Bentuk bahasanya prosa liris b. Banyak menghadirkan leksikal arkhais (Bahasa Kawi) c. Terdapat jalinan harmonis antara suasana dan lagu iringan. b) Bentuk janturan Apabila ditinjau dari teba (proporsi) ungkapannya, janturan dalam pakeliran tradisi Gaya Surakarta terdapat dua macam, yakni Janturan Agêng (besar) dan Janturan Alit (kecil). Janturan Agêng yaitu janturan yang teba ungkapannya cukup panjang, biasanya digunakan dalam adegan pertama atau biasa disebut jêjêr dalam pakeliran semalam. Misalnya: Jejer Ngastina, Jejer Dwarawati, Jejer Kahyangan Suralaya, dan sebagainya. Janturan Alit yaitu janturan yang teba ungkapannya relatif pendek, biasanya digunakan dalam adegan-adegan setelah jejer pertama. Misalnya: Adegan Kedhatonan, adegan paseban jawi, adegan sabrangan (Yaksa/bagus), adegan magak, adegan pertapan (sanga sepisan), adegan alas-alasan, adegan manyura sepisan, dan sebagainya. Jadi mengenai janturan di dalam pakeliran tradisi semalam gaya Surakarta ini sebenarnya hampir ditempatkan pada setiap adegan dalam sebuah lakon. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa janturan itu selalu menyertai struktur adegan atau balungan lakon, sehingga muncul berbagai ragam janturan sesuai dengan adegan yang ditampilkan. c) Fungsi Janturan Janturan merupakan bagian dari unsur catur yang berkedudukan sebagai wacana deskriptif suatu adegan atau pun peristiwa tertentu yang menggunakan medium ungkap “bahasa pedalangan”. Berpijak dari itu, maka janturan dipandang memiliki fungsi dan peranan sangat penting dalam pakeliran. Apabila ditinjau dari aspek penyajiannya, janturan secara garis besar memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi tehnis dan fungsi estetis. Fungsi tehnis: 1. Mendeskripsikan suasana sesuatu yang belum terungkap lewat sarana ekspresi dramatik lainnya. 2. Memperjelas penampilan gambaran, baik mengenai tokoh, tempat, suasana, maupun peristiwa. Fungsi estetis: 1. Membuat suasana atau kesan tertentu 2. Mempertebal kesan dan/atau suasana yang telah muncul. d) Contoh Janturan Janturan Agêng (Jêjêr Ngastina dalam Lakon Wahyu Makutha Rama) Swuh rêp data pitana, anênggih nêgari pundi ta ingkang kaéka adi dasa purwa, éka sawiji, adi linuwih, dasa sêpuluh, purwa wiwitan. Sanadyan kathah titahing bathara ingkang kasangga ing pêrtiwi, kaungkulan ing akasa, kahapit samodra laya, saha kathah ingkang samya anggana raras; nanging datan kadya gêlaring nêgari Ngastina, ya Hastinapura, Gajahoya, Limanbênawi, ya Kurujanggala. Marma dadya bêbukaning carita awit pranyata pinunjul ing jagad. Bêbasan ngupayaa nêgari satus datan antuk kalih, sênadyan sèwu datan jangkêp sêdasa. Dhasar nêgara kang panjang, punjung, pasir, wuklir, loh jinawi, gêmah, ripah, karta tur raharja. Panjang dawa pocapané, punjung luhur kawibawané, pasir samodra, wukir gunung. Nêgari kang ngungkurakên parêdèn, nêngênakên bênawi, ngéringakên pasabinan, ngayunakên bandaran agung. Loh tulus kang sarwa tinandur, jinawi murah kang samya tinuku, gêmah kang samya lampah dagang layar surya ratri tan ana kêndhaté labêt tan ana sangsayaning marga. Ripah kathah janma manca ingkang samya bêbara miwah samya bêbadra, bêbasan jêjêl pipit, abên cukit wismanira, papan wiyar katingal rupak labêt saking rêjaning praja. Karta têbih saking parangmuka, raharja gêsanging para nara praja samya sahiyêk saéka praya, sênadyan para kamwula dasih samya guyup rukun têbih saking hambêg dursila juti myang cêcêngilan. Ingon-ingon raja kaya, pitik iwèn, datan samya kinandhangan, yèn siang aglar ing pangonan, lamun ratri bali mring kandhanging sowang-sowang tan ana kang ghothang sawiji. Dhasar nêgari Ngastina kasusra kajanapriya, mila winastan nêgari kang gêdhé oboré, dhuwur kukusé, adoh kuncarané, amba lêladané. Botên ngêmungakên ing tanah jawi kéwala, sênadyan para bupati ing tanah sabrang kathah ingkang samya sumuyut sumawita tan karana ginêbaging prang pupuh, labêt hamung kayungyun kapiluyu ing pêpoyaning kautaman. Sabên hari kalamangsa samya asok bulu bêkti glondhong pangarêng-arêng, pèni-pèni raja pèni, guru bakal guru dadi, pinangka tandha panungkul. Lah sintên ta ingkang ngasta pusaraning Nêgari Ngastina?, wênang dèn ucapna jêjuluking sang bumi nata nênggih Prabu Duryudana, Suyudana, Kurupati, Jakapitana, Jayapitana, Sang Gêndarisuta, Dhêstharastraatmaja, ya Sang Kurawaéndra. Marma ajêjuluk Prabu Duryudana narêndra kang awrat sangganing aprang, Suyudana prajurit linangkung, Kurupati naréndraning bangsa Kuru, Jakapita nggènya jumênêng nata maksih jêjaka, Jayapitana naréndra kang rosa ing pamuja, Gêndarisuta linahiraké dening Dèwi Gêndari, Dhêstharastratmaja pinutrakaké dening Adipati Drêstharastra, Kurawaéndra naréndraning para kadang. Dhasar naréndra bèrbandha-bèrbandhu. Bèrbandha tegêsé sugih brana picis, bèrbandhu sayêkti sugih kadang sêntana. Namung kuciwané sang nata kirang marsudi ing rèh tatakrami, kadang satus dèn ugung sakarsèng driya. Marma datan mokal kalamun samya darbé watak adigang, adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun, ngêdir-êdiraké dumèh kadang nata. Sanadyan mangkana sang nata maksih anêtêpi pambêgan tri prakara, saraita, darmaita, myang danaita. Saraita liré naréndra kang bangkit ulah kridhaning aprang, darmaita anêtêpi ulah kadarman kang dèn andhêmi dana wêsi asat, liré tan ambahu kapiné sapa kang darbé dosa tamtu kapidana, datan mawas kadang myang sêntana priyangga, bêbasan bahunira kanan kéring lamun darbé dêdosan nêdya sinêmpal-sêmpal. Danaita naréndra kang rêmên anggêganjar ngulawisudha, bêbasan sung sandhang kang kawudan, paring boga kang kalupan, asung damar kang kapêtêngan, paring têkên marang kang kalunyon, maluyakakên kang nandhang sakit, karya suka kang nandhang prihatin. Lamun ginunggunga pambêganing sang katong kaya saratri tan ana pêdhoté, sinigêg kang murwèng kawi gantya kang winursita. Nuju hari soma sang buminata miyos siniwaka mungwing sitinggil binaturata, lênggah dhampar dhênta pinalipit sêsotya nawarêtna, linèmèkan babut prangwêdani, sinêbaran sari-sari ginanda wida jêbat kasturi. Amrik mangambar-ambar gandané ngantos dumugi ing pangurakan. Lênggahing sang katong jinajaran kênya salajur sisih kang ayu-ayu rupané, rompyo-rompyo sesinomé, mandul-mandul payudarané. Ginarêbêg para biyada badhaya srimpi manggung kêtanggung, jaka parara-rara ingkang samya ngampil upacara nata; banyak dhalang, sawung, galing, hardawalika, dwipangga kang sarwa kêncana. Wimbuh sang nata ngagêm busana kêprabon kang sarwa sêsotya pating glêbyar pating pancorong, prasasat sirna kamangungsané sang prabu, tinon saking mandrawa yayah Bathara Sambu ngéja wantah. Rêp sidhêm prêmanêm, tan ana sabawaning walang alisik. Kêkayon datan obah, samirana datan lumampah. Amung kapyarsa ocèhing pêksi jalak lan êngkuk mungwèng panging kêkayon, binarung swaraning abdi kriya, pandhé gangsa myang gêmblak kêmasan, kang samya nambutkardi, pating carêngkling imbal gantya lir mandaraga. Lah sintên ta ing kaparèng ngayun lênggah amarikêlu yayah konjêm bantala wadanané, punika ta warnané sang nidyamantri ing Ngastina satriya ing Plasajênar ingkang akêkasih Rêkyana patih Harya Sêngkuni ya Harya Suman, Tri Gantalpati ya Sang Swélaputra. Dhasar limpat pasanging graita, tanggap ing cipta sasmita, marma pinarcaya ngasta bang-bang pêngalum-aluming praja. Ewadéné ingkang lênggah sapêjagong lawan sri nata punika pujangganing nêgari Ngastina, nênggih pandhita ing Sokalima ingkang apêparap Rêsi Druna, Kumbayana ya Sang Bratwajaputra. Pandhita kang putus ing rèh kaprawiran, kanuragan, jaya kawijayan miwah guna kasantikan. Marma Sang Druna pinarcaya dadya guruning Sata Kurawa miwah Pandhawa. Sinambêt ing wuntat sowaning ari nata satriya ing Tirtatinalang ingkang akêkasih Radyan Kartamarma. Dhasar mudha tumaruna dêdêg pidêksa sêmbada pralêbdèng patrap, marma hanggung cinakêt ing raka nata pinarcaya dadya juru panitisastra. Ing pagêlaran pêpak handhèr pasébaning para Kurawa myang sêntana, punggawa pêpêthingan dalasan para prajurit, bêg ambèr ambêlabar praptèng jawining pangurakan, kaya ndhoyong-ndhoyongna pacak suji kayu arêng labêt kathahing kang samya séba. Sênadyan kathah kang samya marak nanging sajuga tan ana kang nyabawa labêt samya ajrih sapudhêndhaning naréndra. Nalika sêmana sri nata dèrèng kêparêng amêdhar sabda, jroning wardaya amung amênggalih sita sasmitaning jawata ingkang tinampi jroning pasupênan. Têka mangkana pangudyasmaraning driya lamun kawijiling lésan. Janturan Alit (Adegan Kutharunggu dalam lakon Wahyu Makutha Rama) Kunêng kang pinangka sambêting carita, séjé papané nanging tunggal kandhané. Lah punika ta kang anèng madyaning wana Kutharunggu. Kondhanging kidung alas Kutharunggu sayêklti gawat kaliwat-liwat, wingit kepati-pati, apa ta tandhané? Kèh lêmah sangar kayu angkêr kang angrêmbuyung manglung ing jurang terbis, guwa sirung, padhas pèrèng, curi rumpil kang dadya sesingloning drubigsa, jin sétan pêri prayangan, ilu-ilu banspati, gandarwa, thèthèkan, êngklèk-êngklèk, balung atandhak. Wimbuh akèh kéwan galak kang karêm mangsa daging. Ing imbanging gunung ana gumuk pinapar pucuké kinarya padhépokan. Lah punika ta ingkang sinêbat pêrtapan Kutharunggu. Sintên ta ingkang mangasrama ing mriku? Wênang dèn ucapna pêparabé sang pinandhita nênggih Bêgawan Késawasidhi. Sayêkti pandhita linangkung kang gêntur tapané matêng sêmadiné, wus putus saliring rèh, mumpuni sakèhing wédha myang wédhangga. Marma ora jênêng mokal lamun cinakêt ing jawata kinamulèn para Habsari. Nuju hari sajuga sang bêgawan lênggah mungwèng pacrabakan, dèn adhêp para cantrik, manguyu, jêjanggan kang samya puruhita........ Têka mangkana panglucitaning wardaya lamun kawijiling lésan. B. Pocapan Pocapan adalah wacana dalang berupa narasi yang pada umumnya menceriterakan peristiwa yang sudah, sedang, dan akan berlangsung, tanpa iringan gending sirepan. Apabila dilihat dari ungkapannya, pocapan sangat berbeda dengan janturan. Perbedaan itu terletak pada penggunaan bahasanya lebih sederhana dibanding janturan (prosa). Tidak banyak menggunakan leksikal arkhais atau bahasa Kawi yang rumit-rumit, dan penyampaiannya tanpa diiringi sirepan gending. a) Bentuk Pocapan Ditinjau dari bentuknya, pocapan terdapat dua macam, yaitu pocapan Baku dan pocapan Blangkon. Pocapan baku ialah narasi yang menceriterakan suatu peristiwa berkaitan langsung dengan konteks lakon. Seperti: pocapan peralihan adegan, pocapan suasana tokoh (marah, sedih, èmêng) dan sebagainya. Contoh pocapan baku (Adegan Kresna dan Janaka dalam Lakon Kresna Dhuta) Wau ta, lêgêg tyasing Sang Arya Parta dupi miarsa sabdaning kang raka Sri Bathara Kresna. Sayêkti wus tan kêni sinélakan lamun Pêrang Baratayuda tamtu dumadi. Gawang-gawang ing padoning nétra gêgambaraning Kurukasétra. Para pêpundhèn, kadang sêntana kang parikêdah dados mêngsah. Labêt èmênging wardaya sapandurat tan kawijil pangandikané. Prayitna Sang Harimurti sigra angarih-arih kang rayi mrih lêjaring pênggalih. Pocapan blangkon ialah narasi yang menceriterakan suatu keadaan atau peristiwa, berupa bahasa klise yang berlaku umum, tidak terkait langsung dengan konteks lakon. Misalnya: pocapan padupan, pocapan pathêt kêdhu, pocapan abur-aburan Gathutkaca, pocapan Gara-gara, dan lain-lainnya. Contoh pocapan blangkon (Padupan Dwarawati) Lah ing kana ta wau, Nata ing Dwarawati wus manjing jroning sasana busana, lukar busana kêprabon ngrasuk busana kapandhitan; sigra manjing sanggar pamêlêngan. Ing mriku wus samapta uparêngganing sêsaji. Séla gêngnya samustaka liman, winor lan ratus, kayu garu rasamala, miwah cêndhana sari....” dan seterusnya. b) Fungsi Pocapan Pocapan dalam pakeliran memiliki dua fungsi yaitu fungsi tehnis sebagai sarana untuk memberikjanb penjelasan kepada penonton tentang hal yang sudah, sedang, maupun akan terjadi. Sedangkan fungsi estetiknya adalah sebagai pendukung atau pembentruk suasana suatau peristiwa. C. Ginem Ginêm berasal dari basa ngoko gunêm (Jawa) artinya berbicara. Di dalam pedalangan istilah ginêm mempunyai pengertian khusus yaitu ucapan dalang yang mengekspresikan wacana tokoh wayang, baik dalam bentuk monolog maupun dialog. a) Bentuk ginêm Apabila ditinjau dari tokoh atau pemerannya, ginem dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu monolog dan dialog. Misalnya tokoh berguman, ngudarasa, berbicara sendiri tanpa ada lawan bicaranya, ini termasuk ginêm monolog. Kemudian ginêm dalam bentuk dialog yaitu wacana wayang yang melukiskan pembicaraan antara dua tokoh wayang atau lebih yang mempunyai karakter berbeda-beda. b) Ragam ginêm Ginêm dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu ginêm blangkon dan ginêm baku. Ginêm blangkon adalah wacana wayang yang berupa bahasa klise yang dikemas secara konvensional, isi wacana itu tidak baerkaitan langsung dengan jalan ceritera. Contoh: Ginem bagé-binagé Raja dengan Pangeranpati (Jêjêr Dwarawati) Kresna : Kulup Samba bagéa praptanira paran padha raharja nggèr? Samba : Kawula nuwun kanjêng dewaji, sowan kula winantu raharja, sungkêming pangabêkti kula mugi kunjuk sahandhaping pêpada kawula nuwun-nuwun. Kresna : Ya kulup pangabêktinira ingsun tampa, puja pangèstuku baé tampanana. Samba : Kawula nuwun, kapundhi ing mustaka kakalungakên ing lungaya, lumunturing dhatêng jaja, amêwahana rah daging kahyuwanan, kawula nuwun-nuwun. Kresna : Kulup Wisnubrata paran boya andadèkaké guguping tyasira, jênêng sira ingsun piji mangarsa nggèr?. Samba : Dhuh kanjêng déwaji, nalika kang putra tampi dhawuh timbalan paduka guguping manah kula bêbasan kadi tunubruking mong tuna, sinambêring gêlap lepat. Pindha panjang putra dhumawah ing séla kumalasa kumêpyur lir tan panon rat, bebasan kambengan salamba pinajêr ing madyaning alun-alun katiyubing maruta, kemitir kêtir-kêtir carup mor maras. Nanging dupi ngabyantara ing ngarsa paduka ical sadaya walanging driya, ingkang wontên namung manah lêgawa, kawula nuwun-nuwun. Ginêm semacam ini dalam pakeliran tradisi semalam digunakan pada setiap jêjêr pertama untuk negara manapun, baik untuk tokoh raja dengan putra mahkota maupun raja dengan patih, seperti Duryudana dengan Patih Sengkuni, Raja Matswapati dengan Raden Seta atau patih Nirbita; Prabu Drupada dengan Raden Trusthajumna atau patih Dresthaketu, dan sebagainya. Ginêm baku ialah wacana wayang yang berkaitan langsung dengan isi atau permasalahan dalam lakon. Ginêm ini biasanya berupa bahasa bebas yang diekspresikan oleh dalang sesuai dengan karakter tokoh yang tampil. Di dalam adegan pakeliran tradisi semalam peralihan antara ginêm blangkon dengan ginêm baku ini biasanya ditandai dengan singgetan suluk pendek (pathêtan jugag), baik pada jêjêr pertama, adegan kedua dan seterusnya. Hal ini merupakan konvensi garapan dramatika dalam “bahasa pedalangan”, untuk membedakan suasana dialog pengantar kemudian masuk pada pokok permasalahan atau ginêm wigati; sehingga nampak jelas peningkatan suasana suatu adegan. Contoh ginem baku (jejer Dwarawati dalam lakon Parta Krama) Kresna : Kaka Prabu Mandura kawistingal sumêngka pêngawak bajra prapta ing nêgari Dwarawati èsmu mêngku wigatos, mênawi ta tanpa sangsaya saha kénging kawêdhar ing akathah, mugi ri paduka énggal kababarana ingkang sêjati. Baladewa : Mangkéné yayi prabu, abot-aboté pun kakang pinutra mantu tinêmu tuwa dêning Rama Prabu Salyapati. Têlung dina kepungkur aku martuwi marang nêgara Mandaraka, Kanjêng Rama Prabu Salya apa déné Kanjêng Ibu Satyawati kawistara suntrut pasêmoné labêt kagubêl si Burisrawa anggoné adrêng kêpingin dhaup kalawan kadangmu si Rara Irêng. Ringkêsing rêmbug rama prabu nuding pun kakang, bab prakara Burisrawa dipasrahaké sawutuhe marang aku. Oh yayi abot sangganing atiku. Aku pinangka kadang wrêdha dadi wakilé sudarma, mêsthine aku mèlu mikiraké kabgyaning kadangku siji si Rara Irêng. Mangka pitungkasing kanjêng rama suwargi, Rara Irêng kuwi ginadhang dadi jodhoning Prêmadi, lan kuwi tak rasa wis trêp. Nanging barêng ngadhêpi lêlakon kang kaya mangkéné pun kakang dadi kodhêng, yèn nganti aku ora bisa ngusadani larané Si Burisrawa, iba lingsêmku ana ngarsaning kanjêng rama maratuwa. Mula yayi têkaku ing kéné muhung pasrah bongkokan marang si adhi, mara lungguhna pun kakang iki kudu kêpriyé yayi?. Dialog tersebut merupakan ungkapan dalam bahasa bebas yang berdasarkan gagasan atau pokok permasalahan sesuai dengan lakon yang disajikan. Jadi dalam hal ini dalang tidak terikat oleh konvensi-konvensi klise, melainklan gagasan garap dalam ginem sesuai dengan kepentingan adegan yang sedang berlangsung. c) Fungsi Ginêm Ginêm dalam pakeliran memunyai fungsi untuk mengungkapkan permasalahan dalam lakon lewat wacana tokoh sesuai dengan kedudukannya dalam lakon. Selain itu ginem juga mengungkapkan perwatakan tokoh-tokoh sesuai dengan karakter masing-masing. Sesuai dengan perjalanan zaman, bentuk sajian catur yang mencakup janturan, pocapan, dan ginêm tersebut selalu mengalami perubahan, baik bersifat penyempitan maupun pengembangan. Seperti yang muncul dalam masyarakat sekarang, di satu sisi dalang-dalang muda pada umumnya lebih suka menggunakan bentuk-bentuk wacana yang pendek-pendek dan tidak bertele-tele, dari pada bentuk-bentuk konvensional dalam tradisi lama yang panjang-panjang dan banyak ungkapan yang dianggap sulit dimengerti. Di sisi lain terjadi perubahan ke arah pegembangan. Penggunaan bahasa yang praktis, efektif , dan komunikatif dihubungkan dengan pengembangan persoalan dalam menggarap suatu lakon. Jika dalam pedalangan tradisi lama lakon yang sudah ada dianggap sebagai materi yang mengikat dan bersifat statis, sehingga setiap dalang manyajikan suatu lakon secara sterotipe, tetapi sekarang para dalang dapat mengembangkan persoalan-persoalan dalam suatu lakon sesuai dengan kadar kreativitasnya. Dengan demikian sajian pakeliran akan mampu memberikan pesan dan kesan aktual terhadap masyarakat. D. Antawacana Dalang dalam mengungkapkan berbagai bentuk ungkapan catur harus menguasai berbagai tehnik agar menghasilkan ungkapan wacana estetik. Hal ini dalam dunia pedalangan lazim disebut antawacana. Istilah antawacana berasal dari bahasa Sanskerta anta yang berarti batas dan wac/wacana artinya berbicara. Jadi antawacana adalah bahasa atau wacana yang dibatasi oleh wujud, rasa, watak (karakter), dan laras atau nada. Wujud adalah gatra wayang yang mempunyai bentuk dan wanda. Rasa yaitu kesan suasana baik untuk tokoh maupun keadaan lingkungan ataupun tempat yang dilukiskan; watak yakni watak wayang atau karakter tokoh; kemudian laras atau nada yaitu kaitannya dengan atmosphir (pathet) dalam pakeliran semalam yang diwarnai dengan bunyi nada atau laras gamelan (Suratno, Gatra, 1985:4). Pengertian antawacana dalam pakeliran adalah semua hal yang berhubungan dengan konsep maupun tehnik pengungkapan catur, baik berupa janturan, pocapan maupun ginêm, agar menghasilkan kesan sesuai dengan suasana yang diperlukan, seperti kesan mrabu, prênès, grêgêt, sedih, dan sebagainya; sehingga ungkapan yang disampikan oleh dalang dapat mengena pada penonton terasa mantab, indah, dan menarik. Secara konseptual dalang dalam mengungkapkan wacana baik berupa janturan, pocapan maupun ginêm, harus mempunyai landasan gagasan mengenai suasana adegan ataupun suasana tokoh, misalnya: grêgêt, sedih, sêngsêm. Kemudian juga memahami tentang karakteristik tokoh yang tercermin dalam bentuk wayang, seperti: gagah alus, gagah kasar, luruh branyak, luruh alus, dan sebagainya. Di samping itu dalang harus mengusai tehnik pengungkapan wacana dalam pakeliran baik untuk janturan, pocapan maupun ginêm. Tehnik yang dimaksud meliputi: pemilihan kata, artikulasi, volume atau teba suara (keras/lirih), intonasi (tekanan/tebal-tipis), dan dinamika, serta keseimbangan suara. Pemilihan kata merupakan hal yang sangat penting dalam ungkapan wacana dalang, karena ungkapan kata-kata itu ikut menentukan rasa suasana yang diekspresikan. Di dalam basa pedhalangan banyak sekali kata-kata yang berbeda tetapi mempunyai makna sama, perbedaan itu yang membawa rasa bahasa untuk memberikan kesan mantab, ringan, ragu (antêb, antal, ngambang) dan sebagainya. Artikulasi dalam pakeliran juga biasa disebut dengan istilah ulon, yaitu kejelasan bunyi vokal dalang dalam menyampaikan wacana; misalnya vokal a, ã, i, u, ê, é, è, o, dan konsonan d, dh, t, th, diucapkan secara tegas, jelas dan faseh. Hal ini harus dikuasai secara benar oleh dalang, karena di dalam "bahasa pedalangan" banyak terdapat ungkapan kata-kata yang pengucapannya hampir sama. Misalnya pengucapan kata pada dan padha, kata pada mungkin berarti kaki, mungkin pula berarti bait dalam tembang. Sedangkan kata padha berarti "sama". Demikian halnya ucapan kata sura dan sora, sekilas seakan-akan sama, tetapi jika pengucapannya tegas akan terdengar sangat berbeda, sura mungkin berarti dewa, mungkin juga berarti "berani", mungkin juga nama bulan Jawa Sura, bergantung konteks kalimatnya; adapun sora berarti suara yang keras. Oleh sebab itu penguasaan artikulasi menjadi sangat penting bagi seorang dalang. Volume atau teba suara yaitu suatu cara bagaimana dalang mengatur keras atau pelannya suara sesuai dengan kebutuhan suasana dalam adegan. Misalnya dalam janturan jêjêr, biasanya banyak ungkapan wacana dengan volume sedang, untuk pocapan grêgêt banyak menggunakan volume keras, begitu pula dalam penyuaraan tokoh wayang ada yang besar pelan (alus), ada yang besar santak (kasar), ada yang kecil halus dan ada yang kecil branyak, dan sebagainya. Intonasi atau tekanan, dalang harus memperhatikan ungkapan wacana yang disampaikan mana yang harus diberikan penekanan atau pemantapan sesuai dengan suasana atau karakter tokoh. Dan seberapa perbedaan penekanan antara ucapan satu dengan lainnya sehingga jelas mana yang tebal dan yang tipis. Dinamika juga diperlukan dalam hal ini, yaitu suatu cara untuk memberikan warna wacana baik berupa janturan, pocapan maupun ginêm tidak terkesan monotone. a) Ragam Antawacana 1. Antawacana dalam janturan Janturan suatu adegan merupakan deskripsi suasana dari adegan yang sedang berlangsung. Untuk mencerminkan suasana yang sesuai dengan isi yang dimaksudkan, maka dalang harus memperhatikan antawacana dari janturan itu. Misalnya janturan jêjêr biasanya masih dalam suasana rêgu atau mrabu, berbeda dengan janturan pada adegan kedua atau adegan di pesanggrahan dan lain sebagainya. Begitu pula untuk adegan suasana-suasana tertentu seperti adegan tokoh sedih, tokoh sakit, tokoh marah dan lain-lainnya, semuanya itu sangat ditentukan antawacana dalang dalam menyampaikannya. 2. Antawacana dalam pocapan Pocapan berfungsi untuk mendukung suasana suatu peristiwa, oleh karena itu pocapan ditentukan pula oleh antawacana yang dikuasai oleh dalang. Misalnya dalam peristiwa perang tentunya dipilih antawacana grêgêt. Contoh: Wau ta, kadya dhinodhog alugora jajané prabu Baladéwa, sakala duka yayah sinipi, jaja bang mawinga-winga, kumêdhut padoning lathi, wadananira mbaranang, pindha kêmbang wora-wari bang, yèn sinabêta mêrang sagèdhèng bêl mubal dahanané. . . Lain halnya dengan pocapan untuk mendukung suasana èmêng, misalnya: Lah ing kana ta wau, mangu-mangu mangonênging nala anênggih satriya ing Paranggarudha dupi miarsa dhawuhing kang raka Rêsi Gunadéwa. Adrênging tyas sasat tan kêni sinayudan, nanging sang abagus émut lamun kabanda ing ulah sisip. Satêmah èmêng ing pênggalih, ngênglêng, linglung kanganglangan. Melihat dua contoh pocapan tersebut di atas nampak jelas perbedaannya. Pemilihan kata-kata akan berpengaruh pula pada cara pengucapan , sehingga menimbulkana kesan antêb, antal, mangu-mangu, dan sebagainya. 3. Antawacana dalam ginêm Ginêm merupakan ungkapan wacana tokoh wayang, sudah barang tentu wujud wayang menjadi acuan bagi dalang untuk mengekspresikan wacananya. Dalam hal ini perhatian dalang tidak lepas dari karakter dan suasana batin tokoh, apakah tokoh dalam keadaan netral, gembira, sedih, sendu, marah, dan sebagainya. Untuk mewujudkan kesan-kesan itu, dalang perlu memperhatikan hal-hal tehnik misalnya: pemilihan kata dan edium-edium yang sesuai dengan karakter wayang, seberapa tebal atau tipisnya penyuaraan, tempo dan tekanan-tekanan dalam ungkapan, kejelasan artikulasi dan sebagainya. Contoh antawacana dalam ginêm Baladéwa dalam suasana netral (mêrdika): Jagad déwa bathara ya jagad pramudita, kaya mangkéné swargané darbé kadang nata binathara kang luhur ing budi, bangét pangaji-ajiné Yayi Prabu tumtap pun kakang tuhu andadèkaké suka birawaning tyas. Baladéwa dalam suasana marah: Lêlêthêging jagad gêlah-gêlahing bumi panuksmaning jajal laknat!, sumbaré kaya wani ndilat wêsi abang, mêcah wêsi gligiran, Ora minggat kêlakon kêtiban èpèk-èpèkku kêparat!. Dua contoh itu menunjukkan perbedaan yang sangat jelas. Dalam suasana netral ginêm Baladéwa menggunakan kata-kata yang ringan, dengan nada datar dan dinamika tipis, serta tidak terdapat tekanan-tekanan ekspresi secara khusus. Sedangkan pada contoh kedua, pilihan kata-kata yang digunakan lebih cenderung kata-kata yang bernada keras dan kasar, pengucapannya otomatis dengan nada-nada keras dan mantab serta dinamis. Sehingga meskipun secara visual tokoh yang tampil itu sama, tetapi akan menyampaikan kesan yang berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, antawacana merupakan hal yang mutlak harus dikuasai oleh seorang dalang dalam mengungkapkan wacana baik dalam bentuk janturan, pocapan maupun ginêm dalam pakeliran. b) Fungsi Antawacana 1) Untuk memperjelas artikulasi (ulon) 2) Memperjelas dan membedakan suasana adegan 3) Membedakan karakter wayang Tahap Pembelajaran 3 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah mendapatkan materi ini para Dwija dapat menjelaskan berbagai ragam sumber lakon/ceritera pedalangan dan imjplementasinya dalam pertunjukan wayang. Gagasan Pokok: Sumber lakon pedalangan Deskripsi singkat: Materi dalam pertemuan ini menjelaskan tentang ragam sumber ceritera pedalangan, mencakup jenis, bentuk, dan isinya. Bacaan Wajib 1. Sunardi DM., Ramayana. Jakarta: Balai pustaka, 1980. 2. Yasadipura. Serat Rama Maca Pat. 3. I Nyoman Pendit. Ramayana dan Mahabarata. Jakarta: Gramedia, 1982. 4. Siswa Harsoyo. Mahabarata Kawedhar. Yogyakarta: KS. 5. Raja Gopalachari, Ramayana dan Mahabharata. Yogyakarta: IRCiSoD, 2008/2009. PENEGETAHUAN PEDALANGAN II (Sumber Lakon Pedalangan) A. Pengertian Sumber Cerita Pedalangan Sumber ceritera pedalangan adalah berbagai hal yang digunakan sebagai acuan dalam menggubah/merekayasa ceritera pada lakon-lakon pedalangan, baik yang berupa tulisan, informasi lisan, audio visual, maupun website. B. Jenis Sumber Ceritera Pedalangan Sumber ceritera pedalangan ditinjau dari jenisnya dapat digolongkan menjadi dua jenis, yakni: jenis sumber ceritera tertulis dan jenis sumber ceritera lisan. Sumber-sumber ceritera tertulis berupa buku-buku atau dalam bahasa Jawa lazim disebut serat atau kitab, seperti: serat Mahabharata, Ramayana, Pustakaraja, Pangiwa-Panengen, Arjunasasrabahu, Lokapala, dan sebagainya. Serat-serat tersebut pada umumnya berupa ceritera deskriptif dan informatif belum merupakan bentuk lakon. Di dalam pedalangan sumber ceritera itu diolah menjadi bentuk lakon-lakon yang siap disajikan. Jenis sumber ceritera lisan, yaitu informasi ceritera yang berasal dari masyarakat penggemar wayang ataupun para dalang terdahulu maupun yang dituturkan secara turun tumurun. Informasi ceritera itu lestari dan berkembang dalam masyarakat secara konvensional dan diakui keberadaannya dalam kalangan masyarakat pedalangan dalam etnis budaya tertentu. Sumber ceritera yang berupa relief, yakni ceritera yang berupa gambar-gambar berseri yang terdapat pada dinding-dinding candi dan prasasti-prasasti kuno. Seperti, kisah Ramayana di Candi Prambanan, Kresnayana di Candi Penataran, Partayadnya di Candi Jayago, dan sebagainya. Sumber cerita/lakon audio visual adalah referensi lakon yang diambil dari rekaman audio visual yang berupa rekaman dari dalang-dalang profesional, baik komerswial maupun non komersial. C. Bentuk dan Isi Sumber Ceritera Tertulis Sumber ceritera pedalangan apabila ditinjau bentuknya terdapat dua macam bentuk yaitu bentuk sekar atau tembang (puisi) dan bentuk gancaran (prosa). Sumber ceritera yang berbentuk sekar/tembang adalah tulisan dalam bentuk puisi yang berupa sekar/tembang: Kakawin (sekar ageng), sekar tengahan, dan macapat, menceriterakan peristiwa-peristiwa pada jaman purwa, jaman pra sejarah, sejarah kerajaan jawa Budha, Mataram Hindu hingga Mataram Islam, ceritera-ceritera rakyat, dan sebagainya. Sumber ceritera yang berbentuk gancaran yaitu tulisan dalam bahasa bebas (prosa) yang menceriterakan kisah tokoh-tokoh pada jaman purwa maupun jaman-jaman terdahulu lainnya yang berkait dengan dunia pewayangan.Sumber tertujliks ini tidak hanya berupa buku atau kitab-kitab kuna, tetapi juga terletak dalam bentuk relief-relief candi dan prasasti-prasasti. Apabila dilihat dari aspek kebahasaannya kitab-kitab kuno itu terdapat dua bentuk, yaitu kitab yang golongan itu ada yang berbentuk tembang dan kitab kuno yang berbentuk gancaran. a) Kitab-kitab Kuno yang berbentuk tembang (Kakawin) 1. Arjunawiwaha, kakawin (puisi), menceriterakan Arjuna sedang bertapa lalu diminta oleh dewa agar menandingi musuh para dewa yang bernama Niwatakawaca. Pokok ceritera itu cocok dengan isi dari parwa ketiga dalam Mahabharata (Wanaparwa). Kitab ini sangat termashur pada jaman Airlangga (1019 – 1042 M). Kitab ini dikarang oleh Empu Kanwa. Pada tahun 1850 kitab ini telah dicetak dalam aksara Jawa oleh Friederich. Kemudian pada tahun 1926 telah dicetak dengan huruf latin dalam bahasa Belanda. 2. Kresnayana, pustaka berbentuk tembang berisi cerietra tentang Kresna membawa lari Rukmini. Dalam ceritera ini tidak menyinggung nama Druna maupun Permadi seperti yang ada dalam lakon pedalangan sekarang. Kresnayana dikarang oleh Empu Triguna pada jaman Prabu Warsajaya di Kediri sekitar tahun 1104. Ceritera singkat telah disalin dan diterjemahkan dalam bahasa Belanda, inti ceriteranya yakni: Rukmini putri raja Bismaka di Kundina telah dipertunangkan dengan Suniti raja Cedi, tetapi Dewi Pretukirti ibu Rukmini ingin menantu parabu Kresna. Pada saat perayaan perkawinan Kresna datang atas undangan Pretukirti dan Rukmini agar membawa lari Rukmini. Akhirnya Rukmini menjadi permaisuri Kresna. 3. Sumanasantaka, dikarang oleh Empu Manoguna pada jaman Prabu Warsajaya (1104) di Kediri. Ceritera ini berasal dari kitab Sanskerta Raguwangsa gubahan pujangga Hindu bernama Kalidasa. Kitab ini menceriterakan perjalanan Dewi Kosalnya (Ragu) konon sebagai titisan Sri Widawati, ia selalu dikejar-kejar oleh Rahwana. Perjalanannya sampai pada pertapaan Swaribranti, berttemu dengan Begawan Dasarata. Kosalya miknta perlindungan Dasarata agara diselamatkan dari paksaan Rahwana. Pada saat Rahwana datang di pertapaan, Dasarata memuja sekuntuk bunga (soma) sebagai Kosalnya. Rahwana meminta Kosalnya, oleh Dasarata diberikan tetapi dengan syarat Rahwana harus menyerahkan negara Ayodya kepadanya. Rahwana memenuhi permintaan Dasarata, Kosalya dibawa pulang ke Alengka, namun setel;ah sampai di Alengka Rahwana sangat kecewa, karena Dewi Kosalya berubah menjadi bunga yang layu. Somanasa berarti antaka berarti mati, jadi Somanasantaka berarti bunga yang layu. 4. Smaradahana, ditulis oleh Empu Darmaja pada masa raja Kameswara (1115 – 1130) berupa puisi yang menceriterakan tentang terbakarnya Bathara Kamajaya. Ketika Hyang Siwa pergi bertapa, Kaendran kedatangan musuh raksasa rajanya bernama Nilarudraka. Kamajaya bertekat membangunkan Siwa dengan melepaskan panah Pancawisesa yang menyebabkan hasrat mendengar yang merdu, mengenyam yang lezat, meraba yang halus, mencium yang serba harum, dan memandang yang serba indah. Hal ini mengakibatkan Siwa rindu kepada permaisuri Dewi Uma. Namun setelah ia tahu bahwa penyebabnya adalah panah Kamajaya, murkalah Siwa lalu memandang Kamajaya dengan mata ketiganya, hingga Kamajaya hancur tubuhnya. Ratih isterinya bela pati masuk ke dalam api. Dewa Siwa tidak memberi ampunan, bahkan jiwa Kamajaya diturunkan ke mayapada bersama istrinya agar bersemayam di dalam hati pria dan wanita. Dewi Uma sedang mengandung, pada saat duduk bbersama Siwa, datanglah para dewa mengunjunginya. Pada saat melihat Dewa Indera mengendarai gajah Herawana, Uma sangat terperanjat ketakutan, sehingga melahirkan bayi berkepala gajah diberi nama Ganesa. Anak Uma inilah yang dapat menahlukkan raksasa Nilarudraka. Dalam kitab ini disebut nama Kameswara raja Kediri yang berpermaisuri Sri Kirana Ratu. Purbatjaraka berpendapat bahwa Kameswara I yang dimungkinkan nama lain dari Panji Hinu Kartapati, karena istrinya juga bernama Galuh Candra Kirana. b) Kitab-kitab Kuno yang berbentuk Gancaran (Prosa) 1. Ramayana, dibuat kira-kira pada jaman Dyah Balitung 898-910, isi dan bahasanya sanagat bagus. Ceriteranya sejalan dengan Ramayana ciptaan Walmiki dari India (500 SM), tetapi lebih singkat dan Sinta pada akhir ceritera tidak diceraikan seperti dalam kitab Ramayana Walmiki. Kitab ini telah dicetak atas usaha Kern tahun 1900 2. Uttarakandha, isinya semacam Ramayana yang menceriterakan asalmula raksasa, nenek moyang Dasamuka, lahirnya Dasamuka dan sikapnya terhadap para dewa serta pendeta. Juga hal ihwal Arjunasasra. Hal Sintadewi setelah kembali ke Ayodya, akhirnya diusir dalam keadaan hamil, kemudian melahirkan dua anak kembar diberi nama Kusya dan Lawa, kedua anak itu mendapat pelajarann dari Walmiki tentang Sri Rama, hingga tersusun Hikayat Ramayana. Pada saat Sita dijemput oleh Sri Rama, bumi menganga lalu Sinta masuk ke dalam bumi, Rama merana karena rindu dendam akhirnya menemui ajalnya. 3. Adiparwa, bentuk dan bahasanya semacam Uttarakanda di dalamnya menyebut nama Dharmawangsa Teguh. Isi kitab ini banyak diambil sebagai lakon pedalangan, misalnya lakon Lara Amis, Bale Gala-gala, Harimba Lena, Peksi Dewata dan sebagainya. Juga ceritera tentang mengaduk samudra amerta, bulan dan matahari dimangsa oleh raksasa tak berbadan (grahana) dan lain-lain. Juga disebutkan bahwa Adiparwa merupakan bagian pertama dari Kitab Mahabharata. Adiparwa telah dicetak dalam huruf latin dan dibandingkan dengan Mahabharata Sanskerta OLEH Hazeu, telah dipelajari oleh Kern dengan dikutip beberapa bagian ceriteranya. Juynboll telah menjalin cerita tentang Sang Garuda pada bahasa Belanda. Zoedmulder telah menyelidiki hal bahasanya. 4. Sabhaparwa, kitab ini sulit dipelajari karena tulisannya telah rusak. Tetapi inti dari kitab ini menceriterakan tentang kisah andawa main dhadhu. 5. Wirathaparwa, yakni parwa ke empat dari Mahabharata, menceriterakan perihal Pandhawa menyamar sebagai abdi di negeri Wiratha Kitab itu berangka tahun 918 – 996 Saka dan menyebut nama Dharmawangsa Teguh pula. Oleh Juynboll kitab tersebut telah dicetak dalam huruf latin, dan yang separo bagian depan telah dicetak lagi dan dijelaskan oleh Fokker. 6. Udyogaparwa, parwa ke lima dari Mahabharata. Bagian ini sudah banyak yang rusak, maka hanya sebagian yang dapat dicetak dan diberi keterangan oleh Juynbool. Inti ceritera yang terdapat di dalam parwa ini adalah lakon Kresna Gugah. 7. Bhismaparwa, yaitu parwa ke enam dari Mahabharata yang isinya sudah mulai perang Bharatayudha. Di dalamnya tercantum pula beberapa hal dari kitab Bagawatgita. Kitab ini sudah diuraikan dan dicetak oleh Gonda. 8. Asramawasaparwa, parwa ke 15 berisi ceritera setelah erang Bharatayudha. Pandawa menghibur Dhestharastra yang seratus putranya telah gugur di medan laga, dengan menobatkan menjadi araja lagi di Hastina selama 15 tahun. Para Pandawa menghormatinya kecuali Bhima yang selalu menghujat. Akhiurnya Dhestharastra pergi bertapa ke Kandhawaprastha hingga menemui ajalnya. 9. Mosalaparwa, yakni parwa ke-16 menceriterakan musnahnya golongan Wresni dan Yadu, yaitu kaum Baladewa dan Kresna yang musnah karena berperang dengan sesama bangsa Wresni dan Yadu atas kutukan Resi Narada. 10. Prasthanikaparwa, parwa ke 17 menceriterakan setelah penobatan Parikesit, Pandhawa diikuti Drupadi berjalan menyusur pantai terus naik ke Himalaya melalui padang pasir lau berturut-turut mulai dari Drupadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, lalu Bhima telah mati. Tinggal Yudhistira disongsong oleh dewa Indra nasuk ke surga dengan jasmaninya. Tiga kitab tersebut di atas telah dicetak dalam huruf latin dan disalin dalam bahasa Belanda oleh Juynboll. 11. Swargarohanaparwa, sebagai parwa terakhir dari Mahabharata. Bagian ini menceriterakan Yudhistira mencari saudara-saudaranya terdapat dalam neraka. Yudhistiura tidak mau pergi dari neraka, akhirnya dewa mengganti neraka itu menjadi surga. 12. Kunjarakarna, dilihat dari bentuk dan bahasanya setara usianya dengan kitab-kitab parwa, menceriterakan hal-ihwal raksasa Kunjarakarna ingin menjadi manusia. Menurut petunjuk Bathara Wairocana Kunjarakarna pergi ke neraka. Di neraka Kunjarakarna mengetahui sukma-sukma yang mengalami siksaan karena dosanya. Ia segera meninggalkan neraka menemui sahabatnya yang bernama Purnawijaya uytra Batara Indra, memberitahukan bahwa telah tersedia bagi Purnawijaya temat siksaan yang dahsyat karena dosanya yang besar terhadap dewa. Lalu mereka bergur kepada Sang Wairocana. Akhirnya Kunjarakarna menjadi manusia yang tampan, dan neraka siksaan Purnawijaya yang sehariusnya ratusan tahun itu hanya berlaku 10 hari, ia masih hidup lagi bertemu dengan istrinya Gandawati yang setia menunggu suaminya. Kitab Kunjarakarna ini berisi ajaran Agama Budha, sejenis Sang Hyang Kamahayanikan, telah dicetak dan disalin dengan bahasa Belanda oleh Kern; pertanma dengan huruf Jawa, kedua dalam huruf latin. D. Ramayana dan Mahabharata a) Pengertian Ramayana dan mahabarata adalah dua Epos yang sangat terkenal di dunia. Konon epos tersebut berasal dari India yang diambil dari isi dua kitab suci (Veda), Ramayana merupakan kitab suci umat Hindu aliran Wisnu, sedangkan Mahabarata merupakan kitab suci umat Hindu aliran Qiwa. Menurut beberapa sumber informasi karya sastra Epos Ramayana diperkirakan telah muncul pada 500 tahun S.M, dikarang oleh Walmiki; isinya adalah hikayat Sri Rama Raja Ayodya bersama keluarganya terdiri dari tujuh bab yang disebut Sapta Kandha. Mahabarata diperkirakan telah berada 500 tahun lebih tua dari pada Ramayana, dikarang oleh Wiyasa. Mahabarata berisi Hikayat Pandawa dan Korawa terdiri dari 18 (delapan belas) bab disebut Hastha Dasa Parwa. Menurut informasi sejarah, Ramayana telah masuk ke Indonesia pada sekitar abad IV M, mengalami perkembangan pesat pada abad VII; sedangkan Mahabarata masuk ke Indonesia sekitar abad VII, berkembang pesat pada abad X (Dharmawangsa Teguh). Meskipun dua macam epos tersebut berasal dari dua aliran yang berbeda, di Indonesia akhirnya dipadukan dan dikembangkan menjadi berbagai versi. Bahkan tokoh-tokoh utama di dalam epos itu dihubungkan dengan silsilah keturunan raja-raja di Nusantara khususnya Jawa. Pada akhirnya dua epos itu menjadi sumber cerita (pakem) pokok dalam pedalangan. b) Sapta Kandha Sapta Kandha adalah 7 (tuju) bagian atau bab yang tertera di dalam Epos Ramayana, menceriterakan asal mula Sri Rama yang diawali dari ceritera kehidupan para leluhur Sri Rama sampai dengan akhir hayat Sri Rama. Adapun isi Sapta kandha itu secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut. 1. Bala Kandha; menceriterakan tentang kehidupan leluhur Sri Rama, dimulai dari ceritera kahidupar para Dewa di kahyangan hingga menurunkan darah Ayodya, Alengka, Mahispati, Mantili, dan lain-lain. 2. Ayodya Kandha; menceriterakan kehidupan keluarga Dasarata sebagai raja di Ayodya setelah wafatnya Raja Banaputra. Dasarata mempunyai tiga orang isteri yaitu Dewi Kosalya (Raguwati) berputra Rama (Ragawa); Dewi Kekayi berputra Bharata; Dewi Sumitra berputra kembar bernama Laksmana dan Satrugna. 3. Aranya Kandha; memuat ceritera tentang kehidupan Sri Rama, Sinta dan laksmana dalam menjalani pembuangan di Dhadhaka (hutan) selama 12 tahun, sehingga Sinta diculik oleh Rahwana dari Alengka. 4. Kiskendha Kandha; menceriterakan peristiwa percekcokan dua bersaudara yaitu raja kera Subali dan Sugriwa di Goa Kiskendha, akhirnya Subali terbunuh oleh Sugriwa atas bantuan Sri Rama. 5. Sundara Kandha; menceriterakan peristiwa pembangunan negara baru yaitu Pancawati oleh para wanara. Sri Rama sebagai raja di Pancawati menguasai laskar kera, kemudian Sri Rama menganjurkan menambak samodera menuju Alengka untuk merebut kembali Dewi Sinta dari tangan Rahwana. 6. Yuda Kandha; memuat ceritera pertempuran antara prajurit kera dan raksasa Alengka, yang diakhiri dengan perang tanding antara Sri Rama dan Rahwana. Pada akhirnya Rahwana gugur, Sri Rama membawa kembali Dewi Sinta ke Ayodya. 7. Uttara Kandha; bagian akhir yang menceriterakan tentang pembuktian kecucian sinta di depan rakyat Ayodya dengan membakar diri dalam api suci (pati obong), namun Sinta tidak mati. Meskipun demikian rakyat Ayodya masih tidak mempercayai kesuician Sinta. Akhirnya Sinta meninggalkan Ayodya masuk ke hutan bertemu dengan Walmiki. Sinta melahirkan dua anak kembar diberi nama Kusya dan Lawa. Sinta mati ditelan bumi, Rama meninggal karena tekanan batin. c) Hastha Dasa Parwa Hastha Dasa Parwa adalah 18 (delapan belas) bagian atau bab yang terdapat di dalam Epos mahabarata, yang memnceriterakan hikayat Pandawa dan Korawa yang diawali dari ceritera kehidupan para Dewa leluhur Pandawa dan Korawa, sampai dengan akhir hayat para Korawa dan Pandawa. Secara garis besar isi Mahabarata adalah sebagai berikut. 1. Adi Parwa; bagian pertama yang menceriterakan tentang kehidupan para Dewa yang menurunkan berbagai wujud mahluk di dunia (Sura, Asura, Manu, Hewan), hingga menurunkan Pandawa dan Korawa. 2. Sabha Parwa; memuat ceritera kehidupan Pandawa dan Korawa pada masa mudanya, hingga perpecahan Hastinapura. Pandawa menduduki Indraprastha, namun tidak lama kemudian Pandawa kalah dalam permainan dadu dengan Korawa. 3. Wana Parwa; menceriterakan kehidupan Pandawa dan Drupadi dalam menjalani pembuangan selama 12 (duabelas) tahun di Hutan, hingga Arjuna mendapatkan senjata sakti dari Dewa yang bernama Pusaka Pasopati. 4. Wiratha Parwa; menceriterakan persembunyian para Pandhawa selama satu tahun di Wiratha, hingga terbunuhnya Kincaka adik dari Ratu Tiksnawati. Akhirnya Pandawa diketahui oleh Raja matsya bahwa mereka sesungguhnya putera Pandhu cucunya sendiri. 5. Udyoga Parwa; bagian ini memuat ceritera tentang Krisna (Wisnu) sedang bertapa di Balai Kambang untuk meminta kepastian Dewata dalam menentukan terjadinya perang dunia yang disebut Baratayudha. 6. Bhisma Parwa; menceriterakan awal perang Baratayudha, Bhisma sebagai senapati di pihak Korawa sejak hari pertama sampai hari kedelapan. 7. Druna Parwa; menceriterakan perjalanan Druna sebagai senapati dalam Baratayudha pada hari kesembilan hingga hari ketigabelas. Druna gugur di tangan Trusthajumna. 8. Karna Parwa; Menceriterakan Karna sebagai senapati perang selama semalam dan sehari. Karna gugur di medan laga oleh Arjuna pada hari keempatbelas. 9. Salya Parwa; Menceriterakan tentang Salya Raja Madra sebagai senapati perang pada kelimabelas, akhirnya gugur pula pada hari keenambelas oleh Yudhistira. Pada hari ketujuhbelas Duryudana menghilang bersembunyi di dalam telaga, namun persembunyiannya dapat diketahui oleh Krisna pada hari kedelapan belas. Akhirnya Duryudana gugur di tangan Bima. 10. Sauptika Parwa; menceriterakan peristiwa penculikan pembunuhan kelima putra Pandhawa (pancabala) termasuk Trusthajumna dan Srikandhi oleh Kartawarma dan Aswatama, akhirnya kedua pembunuh itu data ditangkap oleh Bima. 11. Stri Parwa; menceriterakan ratap tangis ratu Kunthi dan Drupadi atas kematian kelima anak dan saudaranya. Akhirnya Bima harus mengisas kedua pembunuh tersebut. 12. Aswamedika Parwa; Memuat peristiwa sesaji kuda atas kehendak Yudhistira, demi ketenteraman Negeri Hastina. 13. Santi Parwa; Pandawa melakukan darmalaksita yaitu turun ke Kurusetra menolong sisa-sisa prajurit yang masih hidup dan memberi santunan kepada para janda yang ditinggal suaminya gugur dalam peperangan. 14. Anusasana Parwa; menceriterakan penobatan kembali Dhestharastra sebagai raja Hastinapura oleh Yudhistira, sebagai penebus kematian Korawa. Namun Bima tidak rela, ia selalu mencaci maki Dhestharastra. 15. Asramawasana Parwa; Dhestharastra merasa tidak kuwat menerima cacian bima, akhirnya ia mohon diri untuk melakukan wanaprastha, mensucikan diri menuju kematian. Yudhistira menobatkan putra Abimanyu bernama Parikesit sebagai pengganti Raja Hastinapura. Kepergian Dhestharastra diikuti oleh Gandari, Kunthi, dan Widura menuju Kandhawaprastha. Pada suatu ketika mereka bersuci di Bengawan Yamuna, tiba-tiba hutan Kandhawa terbakar. Akhirnya mereka berempat disempurnakan pula oleh Dewa Akni. 16. Mosala Parwa; menceriterakan musnahnya keluarga yadawa atas kutukan Resi Naradha karena ulah Babru dan Samba. Dwaraka dan seluruh wilayah Yadawa tenggelam, namun sebelumnya Krisna telah menyerahkan isterinya kepada Arjuna sejumlah 400 orang. 17. Mahaprasthanika Parwa; Setelah menobatkan putra abimanyu, Yudhistira bersama-sama kempat saudaranya meninggal Hastinapura untuk melakukan wanaprastha mendaki Himalaya. Dalam perjalanan Sadewa meninggal paling dulu, disusul Nakula, Arjuna dan Bima. Tinggal Yudhistira sendiri yang mampu mendaki hingga ke Kahyangan para Dewa. 18. Swargarokhanika Parwa; menceriterakan perjalanan Yudhistira ke kahyangan diiring oleh Dewa Darma bertemu dengan Wiyasa. Di sana ia melihat ibunya dan saudara-saudaranya di dalam neraka, sedangkan korawa bersenang-senang di surga. Yudhistira protes kepada Dewa agar saudara-saudaranya dipindah ke surga, Korawa dimasukkan neraka. Wiyasa memberi tahu bahwa orang yang akan mengalami kemulyaan selamanya harus pernah merasakan kesengsaraan. Sebaliknya orang yang akan mengalami kesengsaraan selamanya harus pernah merasakan kemulyaan. Akhirnya neraka menjadi surga, dan surga menjadi neraka, Pandawa hidup di surga untuk selamanya Ramayana dan Mahabarata di dalam pedalangan mempunyai fungsi sebagai berikut: 1. Sebagai sumber ceritera pokok untuk lakon-lakon wayang purwa (pakem lakon). 2. Sebagai acuan garapan (sanggit) ceritera dalam menggarap nilai-nilai kehidupan universal. 3. Sebagai acuan dalam mengembangkan lakon-lakon carangan dalam wayang purwa. 4. Sebagai acuan genealogi/silsilah wayang purwa. Tahap Pembelajaran 4 Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah memperoleh materi ini para Dwija dapat menjelaskan silsilah wayang (khususnya wayang purwa) dan fungsinya dalam pertunjukan wayang. Pokoh Bahasan: genealogi wayang purwa. Deskripsi singkat: Materi ini berupa penjelasan tentang genealogi wayang terdiri dari beberapa sumber yang mencakup: silsilah pangiwa dan panengen, silsilah para Dewa, Lokapala, Ramayana, dan Mahabharata, serta silsilah lainnya serta implementasinya dalam pertunjukan wayang. Bacaan Wajib 1. Padmasoekatja, Silsilah Wayang Purwa Mawa Carita. Surabaya: Citra Jaya, 1978. 2. Padmasoesastra, Sujarah Dalem Serat Pangiwa lan Panengen. 3. Bambang Hasrinuksmo, Ensiklopedi Wayang. Jakaarta: Senawangi, 2001. 4. Harja Wiraga. Sejarah Wayang Purwa. 5. Direktorat Pembinaan kesenian. Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium). 6. Bambang Harsrinuksma, Ensiklopedi Wayang, SENAWANGI. PENGETAHUAN PEDALANGAN IV (Genealogi Wayang) a) Pengertian Genealogi adalah hal-hal yang berhubungan dengan silsilah atau keturunan (Echols, 11992) dalam bahasa Jawa sarasilah. Genealogi wayang adalah pengetahuan tentang silsilah wayang. Seniman dalang sangat penting menguasai silsilah wayang. Di samping mengenal tokoh-tokoh wayang, dalang perlu sekali memahami “sejarah” dan asal-usul tokoh-tokoh penting dalam ceritera wayang. Dengan mengetahui dan mengenal tokoh secara benar, seorang dalang akan lebih berhati-hati dalam menggarap karakter suatu tokoh. Di dalam pertunjukan wayang sering terjadi seorang dalang memperlakukan suatu tokoh tanpa mempertimbangkan bobot karakternya, karena dalang itu tidak mengetahui sebenarnya tokoh yang ditampilkan itu latar belakangnya bagaimana. Misalnya dalam penampilan perang kembang, Permadi melawan Buta alasan, Permadi digetak kontal dan jatuh seperti Bambangan-Bambangan lainnya. Ini seharusnya tidak boleh terjadi, meskipun perangnya sama, tetapi kalau Bambangan-nya Permadi digetak oleh raksasa tidak jatuh, karena Permadi bisa terbang, sehingga tidak jatuh begitu saja. Begitu pula pada tokoh-tokoh penting lainnya. Selain itu sering terjadi pula dalang dalam menampilkan unggah-ungguhing pepernahan tidak tepat, yang seharusnya eyang dipanggil paman, yang seharusnya kakang dipanggil yayi. Hal ini terjadi juga karena dalang tidak menguasai silsilah tokoh, sehingga udanegaraning pepernahan kacau balau. Lepas dari hal itu benar atau tidak, perlu dimengerti bahwa wayang telah menjadi salah satu unsur budaya yang telah melekat pada kepribadian masyarakat Jawa. Sehingga apabila terjadi ketidak wajaran akan berkesan janggal. Untuk menghindari hal-hal seperti itu, seorang dalang perlu memiliki bekal pengetahuan tentang silsilah wayang, terutama silsilah wayang purwa. Materi silsilah ini hanya merupakan pengantar bagi mahasiswa, untuk lebih mendalami dan memperluas wawasan tentang silsilah wayang mahasiswa perlu meningklatkan belajar secara mandiri dengan memanfaatkan referensi yang ada. b) Sujarah Pangiwa-Panengen “Sujarah Pangiwa-Panengen” adalah sebuah karya sastra bertulisan huruf Jawa yang diperkirakan telah muncul pada jaman Demak Bintara karya para Waliyullah. Pada jaman Surakarta Hadiningrat buku tersebut dialih aksarakan dan ditata kembali oleh seorang sastrawan yang cukup terkenal yaitu Ki Padmasusastra pada tahun 1898. Judul Pangiwa lan Panengen diambil dari kisah perjalanan kedua putera Nabi Sis yang bernama Sayid Anwar dan Sayid Anwas. Keduanya menginginkan menjadi raja di bumi, syaratnya mereka harus mendapatkan gambar surga. Untuk mendapatkan gambar surga itu oleh Nabi sis disuruh menelusuri sungai Nil hingga naik ke Himalaya menemui abi Adam. Mereka menelusuri hulu sungai Nil sampai di kaki Himalaya, di situ sungai Nil pecah menjadi dua; Anwar meneruskan perjalanannya ke kiri (mangiwa). Sampai di puncak himalaya Anwar bertemu dengan Jin manikmaya (kakek dari ibunya), ia diberi gambar surga tiruan oleh kakeknya dan segera kembali. Sedangkan Anwas mengikuti jalur ke kanan (manengen) sampai di surga bertemu dengan Nabi Adam (kakek dari ayahnya) ia diberi gambar surga yang asli, ia segera kembali pula. Mereka bertemu kembali di tempuran sungai Nil sama-sama menunjukkan gambar surga. Itulah sedikit cuplikan tentang latar belakang sejarah pangiwa lan panengen. c) Silsilah Pangiwa-Panengen Nabi Adam dan isteri Siti Khawa banyak menurunkan anak kembar/(putra dan putri), namun ada seorang putra yang tidak kembar yaitu Nabi Sis. Diantara putra –putra Nabi Adam lainnya, Nabi Sis memiliki sifat yang berbeda; ia memiliki kesaktian dan kepandaian serba lebih dari pada saudara-saudaranya. Nabi Sis menikah dengan bidadari bernama Dewi Mulat putri raja Jin dari Himalaya bernama Manikmaya. Nabi Sis dan Dewi Mulat mempunyai dua putra bernama Anwas dan Anwar. Anwas menikah dengan putrid Sultan Kayumutu bernama Siti Kayati berputra: Sultan Kinan, Sayid Pinat, dan Siti Sekan. Sultan Kinan berputra Malail, Sultan Malail menurunkan Sayid Majid yang kemudian menurunkan Sayid Unuh juga disebut Nabi Idris, selanjutnya Nabi Idris menurunkan para Nabi dalam sejarah Puserbumi. Sayid Anwar menikah dengan Dewi Nurini putri raja Jin Prabu Nuradi dari Pulo Maldewa. Sayid Anwar menjdi raja menggantikan mertuanya bergelar Sang Hyang Nurcahya. Nurcahya menurunkan seorang putra bernama Nurrasa yang menurunkan pula dua putra bernama Sang Hyang Darmajaka (Purba), dan Sang Hyang Wenang (Wisesa). Sang Hyang Wenang berputra tiga yaitu Sang Hyang Tunggal, Sang Hyang Wening, dan Dewi Yati. Sang Hyang Tunggal berputra Sang Hyang Yuyut (Antaga), Sang Hyang Ismaya (Semar), Sang Hyang Manikmaya (Bathara Guru). Sang Hyang Guru memperistri Bathari Umayi (Uma) yang berasal dari Sang Hyang Umar putra Sang Hyang Wening menurunkan sembilan Dewa yakni: Sang Hyang Sambu, Sang Hyang Brama, Sang Hyang Endra, sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Kala, Sang Hyang Mahdewa, Sang Hyang Sakra, Sang Hyang Asmara. Dewi Sri Una putri dari Sang Hyang Wisnu diperistri oleh Bathara Sadhara berputra empat, yaitu: Prabu Tri Trustha Raja Gilingwesi, Tri Mapunggung, Tri Matsyaka, dan Siwandakara. Prabu Tri Trustha kawin dengan Dewi Widati putri Sang Hyang Sumantanu berputra tiga, yakni: Dukutoya bergelar Prabu Parikenan, Dewi Srini, Dewi Tapi. Prabu Parikenan menikah dengan Dewi Bramaneki dari Wiratha menurunkan putra empat, yaitu: Dewi Kaniraras, Raden Kaniyasa (Manumanasa di Saptaarga), Resi Manonbawa, Resi Paridarma. Resi manumanasa beristri bidadari bernama Dewi Retnawati (Sumarwana) putri Bathara Ira, berputra tiga: Resi Satrukem, Resi Sriyati, dan Resi Manumadewa. Resi Satrukem memperistri Dewi Nilawati putri Bathara Harunama menurunkan seorang putra bernama Raden Sakri (Bathara Sakri). Raden Sakri menikah dengan Dewi Sakti putri raja Sriwedari (Tabelasuket) mempunyai seorang anak bernama Raden Palsyara, sebagai raja di Hastinapura menikah dengan Dewi Surgandini atau Lara Amis menurunkan tuju putra, yaitu: Raden Kresna (Abiyasa), Dewi Rekathawati, Arya Kencaka, Bimakenca, Rupakenca, dan Rajamala. Prabu Kresnadwipayana memeperistri Dewi Ambika dari Giyantipura menurunmkan tiga putra bernama: Dhestharastra, Pandhudewanata, dan Arya Widura. Dhestharastra dengan dewi Gandari menurunkan Korawa (100 orang) yaitu: Kurupati, Dursasana, Durmagati, Kartamarma, Citraksa, Citraksi, dan lain-lainya yang bungsu perempuan bernama Dursilawati. Prabu Pandudewanata dengan Dewi Kunthi Talibrata mempunyai tiga keturunan: Yudhistira, Werkudara, Dananjaya; dengan Dewi madrim: Nangkula dan Sahadewa. Dananjaya beristri Wara Subadra menurunkan Abimanyu. Istri Abimanyu adalah Siti Sundari yang tua tidak memiliki keturunan, Utari istri kedua mempunyai keturunan bernmama Parikesit. d) Silsilah Leluhur Lokapala dan Alengka Lokapala adalah nama sebuah negara yang berada di tanjung pulau Sailon yang sekarang disebut Srilangka. Konon di negara tersebut pada jaman purwa berada sebuah gunung yang menyimpan kekayaan alam yang berupa batu permata, intan berlian. Negara itu dikuasai oleh keturunan Bathara Sambu (putra Sang Hyang Guru yang tertua). Pembicaraan tentang silsilah Lokapala selalu berhubungan dengan silsilah Alengka, karena garis keturunan Lokapala akhirnya menyatu dengan Alengka. Adapun uraian silsilahnya adalah sebagai berikut: Sang Hyang Sambu menurunkan Sang Hyang Sambodana, kemudian Sang Hyang Sambodana berputra Resi Supadma pedheta Gigirpenyu; Resi Supadma berputra Resi Wisrawa kemudian memperistri putri raja Lokawana di Lokapala yang bernama Dewi Lokawati; Resi Wisrawa menurunkan Wisrawana (Danapati) menggantikan raja Lokapala. Kemudian Resi Wisrawa memperistri Dewi Sukesi putri raja Sumali di Alengka berputra empat orang yaitu: Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Keturunan Alengka mempunyai nenek moyang sama dengan Lokapala, asal-usulnya adalah sebagai berikut: Sang Hyang Sambu menurunkan Sang Hyang sambodana yang berputra Sang Hyang Herudhana. Bathara Herudhana menurunkan Prabu Hiranya kasipu (Raja Alengka pertama) berputra Prabu Banjaranjali. Berikutnya Prabu Banjaranjali mengawini Dewi Bramani berputra Prabu Getahbanjaran, kemudian menurunkan Prabu Brahmanatama. Brahmanatama menurunkan Prabu Suksara yang kemudian menurunkan dua anak yaitu Prabu Mangliawan dan Sumali. Mangliawan menurunkan Jambumangli, sedangkan Sumali menurunkan Sukesi dan Prahastha, Sukesi diperistri oleh Wisrawa menurunkan: Rahwana, Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Wibisana. Rahwana beristri bidadari Dewi Antari menurunkan: Indrajid, Trisirah, Trikaya, Trinetra, Trisirah, Trimurda; dengan Dewi Kuntanawati menurunkan Kuntalamaryam (Bugbis Mukasura); Canthukawati menurunkan Wil Kataksini, dan lain-lain. Kumbakarna beristri Dewi Kiswani putra Bathara Indra menurunkan Kiswani Kumba dan Kumba Kiswani. Sarpakenaka kawin dengan Wira kala Dursana menurunkan Dewi Surniti; Wibisana beristri Dewi Triwati berputra Bisawarna dan Trijatha. e) Silsilah Leluhur Maespati Silsilah Maespati berhubungan dengan silsilah Rogastina dan Jatisrana. Raja-raja Maespati adalah keturunan dari Sang Hyang Ismaya (Semar). Adapun silsilahnya adalah sebagai berikut: Sang Hyang Ismaya menurunkan Sang Hyang Surya; Bathara Surya menurunkan Sang Hayang Triarta. Sang Hyang Triarta mempunyai putra Sang Hyang Dewasana yang menurunkan putra Prabu Heriya, Resi Wisanggeni, dan Resi Gotama. Prabu Heriya menurunkan Prabu Kartawirya di Maespati, kemudian menurunkan Prabu Harjunasasrabahu. Resi Wisanggeni menurunkan Resi Suwandagni yang menurunkan Sumantri dan Sukasrana; Resi Yamadagni yang menurunkan Rama Parasu dan empat saudaranya. Resi Gotama menurunkan Anjani, Subali, dan Sugriwa. f) Silsilah Leluhur Ayodya Silsilah Ayodya berkaitan erat dengan silsilah Manthili atau Mithila. Dua negara ini mempunyai leluhur yang sama yaitu keturunan dari Sang Hyang Ismaya. Saudara dari Sang Hyang Dewasana bernama Sang Hyang Dewanggana berputra Resi Rawiatmaja, Rawiatmaja menurunkan Prabu Banaputra di Ayodya menurunkan Dewi Raguwati yang kemudian kawin dengan Dasarata (adik Banaputra) dari Suwaribranti menurunkan Ragawa (Rama; Dasarata memperistri putri Begawan Somaresi yaitu Dewi Kekayi menurunkan Barata, dan Dewi Sumitra menurunkan Laksmana dan Satrugna. Ragawa (Sri Rama) menggantikan raja Ayodya beristri Dewi Sinta putri dari Raja Manthili Prabu Janaka keturunan dari Prabu Jisis dari Benggala, menurunakan anak kembar bernama Kusya dan Lawa. Kusya menjadi raja di Purwa Kusala, Lawa menjadi raja di Utara Kusala. Ceritera Ramayana dan Mahaabarata menurut sumber karya sastra dari India keduanya merupakan karya sastra terpisah, pengarangnyapun berbeda. Akan tetapi perkembangannya di dalam pedalangan Jawa dua epos tersebut dihubungkan dalam kesatuan silsilah. Menurut ceritera pedalangan keturunan Sri Rama adalah sebagai berikut: Raden Lawa menjadi raja di Utara Kusala bergelar Ramabatlawa menrunkan Prabu Kunthiboja raja Matura, Kunthiboja mempunyai putra Prabu Basukunthi yang menurunkan Dewi Sruta (dalam mahabarata Dewani), Basudewa, Dewi Kunthi, Aryaprabu Rukma, dan Ugrasena. Dewi Sruta berputra Prabu Supala raja Cedhi; Basudewa menurunkan Balarama, Kresna, dan Subadra; Dewi Kunthi menurunkan Karna, Yudhistira, Werkudara, dan Arjuna; Aryaprabu berputra Dewi Rukmini, dan Raden Rukma. Ugrasena berputra Setyaboma, dan Setyaki. Balarama atau Baladewa Raja Matura/Mandura memperistri putri Madra Dewi Irawati berputra Raden Wisatha dan Wimuka. Kresna raja Dwaraka dengan Dewi Jembawati berputra Raden Gunadewa, dan Raden Samba; dengan Dewi Rukmini berputra Raden Partajumna dan dewi Titisari; dengan Dewi Setyaboma berputra raden Setyaka.. Subadra diperistri oleh Arjuna berputra Raden Abimanyu, Abimanyu dengan Dewi Utari menrunkan Parikesit. g) Silsilah Darah Bharata Silsilah Darah Bharata adalah garis keturunan Bharata mulai dari Bathara Dharma sampai dengan Dewabrata. Bharata adalah nama salah satu tokoh yang ada di dalam ceritera Mahabharata. Ia adalah keturunan ke duapuluh dari Dewa Dharma. Adapun silsilahnya adalah sebagai berikut: Sang Hyang Dharma berputra Sang Hyang Soma beristri Dewi Rohini, menurunkan Sang Hyang Budha. Kemudian Budha kawin dengan Dewi Ila menurunkan Bathara Purorawa memperistri Dewi Urwasi; berikutnya menurunkan Ayu menikah dengan Prabu menurunkan Prabu Nahusa. Dewi Karmada istri Nahusa melahirkan Yayati raja Prayasa beristri Dewi Dewayani dan Dewi Sarmistha. Prabu Yayati menurunkan prabu Puru, menikah dengan Dewi Kosalya menurunkan Janamejaya. Isteri Janamejaya bernama Dewi Ananta menurunkan Prabu Pracinwan. Keturunan Pracinwan dengan Dewi Aswanti bernama Sampayani yang menikah dengan Dewi Parudhwani (Waranggi) menurunkan Garhaspati. Prabu Garhaspati beristri Dewi Bhanumati berputra Prabu Sarwabhoma yang menikah dengan Dewi Sarwajnani menurunkan Prabu Ayutanayi. Prabu Ayutanayi menikah dengan Dewi Campa berputra Prabu Hredwa yang menikah dengan Dewi Dwana berputra Prabu Reksa. Dewi Jwala istri dari Prabu Reksa melahirkan Prabu Matinara yang beristri Dewi Saraswatinadi menurunkan Trasnu. Prabu Trasnu menikah dengan Dewi Kalinggi berputra Prabu Ilina beristri Dewi Upadanawi menurunkan Duswanta. Prabu Duswanta (Wasanta) beristri Dewi Sakuntala menurunkan BHARATA. Parabu Bharata menikah dengan Dewi Wasta berputra Suhotra. Prabu Suhotra beristri Dewi Sawarna menurunkan Hasti (Hastimurti); Prabu Hastimurti menikah dengan Dewi Yasodhari berputra Wikunthana. Sudewi adalah istri Prabu Wikunthana menurunkan Ajamidha yang beristri Dewi Aila menurunkan Dumreksa. Prabu Dumreksa menikah dengan Dewi Wimala berputra Sambarana yang menikah dengan Dewi Tapati berputra Kuru. Prabu Kuru beristri Dewi Yamadhi menurunkan Parikesit. Prabu Parikesit beristri Dewi Udayini menurunkan Suyasa, yang menikah dengan Dewi Suyasini menurunkan Bhimasena. Prabu Bhimasena menikah dengan dewi Kumari menurunkan Prabu Pratipa. Dewi Sunandha istri Prabu pratipa melahirkan Santanu (Raja Hastinapura). Prabu Santanu menikah dengan Dewi Gangga (Jahnawi) berputra Dewabrata (Bhisma), dengan Dewi Sayojanagandhi menurunkan Citragada dan Wicitrawirya. Bhisma brahmacari. h) Silsilah Leluhur Pandawa dan Korawa Silsilah leluhur Pandawa dan Korawa menurut Mahabharata adalah sebagai berikut: Bathara Brahma salah satu keturunannya bernama Sang Hyang Daksa yang beristri Dewi Wirini berputra Dewi Aditi. Resi Kasyapa memperistri Dewi Aditi salah satu keturunannya adalah Sang Hyang Baruna yang menurunkan Resi Wasistha. Istri Wasistha bernama Arundati melahirkan Bathara Sakri yang menikah dengan Dewi Adresyanti menurunkan Palasyara. Resi Palasyara menikah dengan Rara Amis (Durgandini) berputra Wiyasa (Kresna Dwipayana); Wiyasa beristri Ambika dan Ambalika menurunkan Dhestarastra, Pandhu, dan Widura. Dhestarastra dengan Dewi Gandari menurunkan Korawa; Pandhu beristri Kunthi dan Madri menurunkan Pandawa; Widura menikah dengan Dewi Datri putri Prabu Dewaka menurunkan Sanjaya. Menurut versi pedalangan Jawa silsilah leluhur Pandawa Korawa pada umumnya adalah sebagai berikut: salah satu keturunan Dewa Wisnu yang bernama Dewi Sri Hunon diperistri oleh salah satu keturunan Dewa Brahma yang bernama Bambang Bremani menurunkan Bambang Dhukutoya (Parikenan). Parikenan menurunkan Manumanasa (Kamunayasa) menjadi pedeta di Saptaarga memperistri bidadari Dewi Kaniraras berputra Bambang Sakri. Bathara Sakri menikah dengan dewi Sakti menurunkan Sriyati dan Satrukem (Sekutrem); Bambang Sakutrem menurunkan Palasyara yang meniklah dengan Durgandini menurunkan Abiyasa. Prabu Abiyasa di Hastinapura sebagai raja penyambung keturunan Barata, memperistri Abika dan Ambalika menurunkan Dhestarastra, Pandhu, dan Dewi Datri menurunkan Widura. Dhestarastra dan Gendari menurunkan Korawa, Pandhu dengan kunthi dan Madri menurunkan pandawa, Widura ? Yuyutsuh dan Sunjaya. i) Fungsi Silsilah wayang Fungsi materi tentang silsilah wayanag ini adalah untuk memperluas wawasan mahasiswa calon seniman dalang dalam berbagai hal yang terkait dengan kemampuan mendalah, antar lain: 1. Memperkaya penguasaan nama-nama tokoh 2. Memahami garis keturunan tokoh-tokoh penting. 3. Memperkaya penguasaan lakon 4. Memahami udanagara (pepernahan wayang)