Rabu, 11 September 2013
Pengetahuan Wayang
PENGETAHUAN PEDALANGAN
Oleh Dr. Suyanto, S.Kar., MA.
I. Pendahuluan
Seni pertunjukan wayang lazim disebut pakeliran atau pedalangan. Pengertian pakeliran dalam hal ini bukan semata-mata karena pertunjukan wayang yang menggunakan sehelai kelir atau layar (screen), tetapi lebih pada arti teatrikal yang hubungannya dengan penyajian peristiwa-peristiwa atau adegan-adegan dalam suatu kesatuan ceritera atau lakon. Di dalam dunia seni drama tradisi Jawa, seperti Kêthoprak, Wayang Wong, Ludrug dan lain-lainnya, penampilan adegan-adegan lazim disebut kelir. Misalnya kelir siji, kêlir loro, kêlir têlu, dan seterusnya. Termasuk wayang golek yang dalam sajiannya tidak menggunakan kelir juga disebut pakeliran.
Disebut seni pedalangan karena seni pertunjukan ini dikemudikan oleh seorang dalang yang mengatur jalannya ceritera sepanjang sajian atau pertunjukan. Di dalam pertunjukan wayang kulit, dalang berperan sebagai sutradara, sebagai pemeran, sekaligus sebagai stage manager. Jadi dalam pertunjukan wayang kulit, dalang merupakan figur sentral yang menentukan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya pergelaran wayang.
Apabila ditinjau dari bentuk pertunjukannya, seni pedalangan memiliki berbagai ragam bentuk, sebagaimana telah dijelaskan dalam bab II, antara lain seperti tertera berikut.
a) Wayang Beber
Pertunjukan wayang beber dilakukan oleh seorang dalang, sembari berceritera dengan menunjukkan gambar-gambar yang melukiskan kejadian-kejadian atau adegan penting dalam ceritera dimaksud yang dilukis pada kertas. Pada gulungan kertas itu menunjukkan isi dari ceritera yang dipentaskan (Mulyono,1975: 158). Ceritera yang dibawakan bersumber pada sejarah Jawa seputar kerajaan Majapahit, khususnya tentang kisah perjalanan Jaka Kembangkuning.
b) Wayang Kulit (Purwa)
Wayang Purwa adalah pertunjukan wayang yang pementasannya mengambil sumber ceritera pokok dari siklus Mahabharata, Ramayana, Lokapala, atau Arjunasasrabahu. Pemerannya atau wayangnya dapat berupa wayang kulit, wayang golek, dan wayang orang (wong). Kata purwa menurut pendapat para ahli berasal dari kata parwa yang artinya bagian ceritera dari kitab Mahabharata atau Ramayana. Dalam masyarakat Jawa para generasi tua terutama menyamakan kata purwa dengan purba (zaman dahulu). Maka dari itu wayang purwa diartikan juga sebagai wayang yang menceriterakan kisah-kisah pada zaman dahulu (zaman purba).
c) Wayang Madya
Wujud wayang Madya ini mempunyai ciri khas yakni: bentuk badan sampai kepala seperti wayang purwa, sedangkan bentuk sor-soran-nya mirip wayang Gedog. Wayang ini dibuat dari kulit, ditatah dan disungging seperti wayang purwa pada umumnya. Pertunjukannya menggunakan iringan gamelan laras pélog. Dengan gending-gending dan sulukan khas garap untuk wayang Madya. Ceriteranya bersumber pada Serat Pustaka Raja Madya yang menuturkan lakon tokoh-tokoh keturunan Pandawa sejak Prabu Dipayana atau Parikesit hingga Prabu Jayabaya di Mamenang.
d) Wayang Gedhog
Wayang Gedhog dibuat dari kulit, ditatah dan disungging sebagaimana wayang kulit purwa. Ceriteranya bersumber pada siklus ceritera Panji, tokoh utamanya adalah Panji Asmarabangun atau Inu Kartapati putra Jenggala dan Dewi Sekartaji putri Kediri. Bentuk wayang Gedog memiliki ciri diantaranya tokoh-tokoh Panji mengenakan irah-irahan (mahkota) berupa têkês, dengan bentuk kain sor-soran rapèkan. Pertunjukannya seperti wayang madya, menggunakan iringan gamelan laras pélog.
e) Wayang wasana.
Pertunjukan wayang wasana ini terdapat beragam wayang, di antaranya: wayang Klithik atau wayang Krucil; bonekanya dibuat dari kayu dengan tangan dari kulit, ceriteranya mengambil dari serat Ménak (hikayat Amir Hamzah) atau Babat (Damarwulan). Wayang Suluh, bonekanya dibuat dari kulit dengan bentuk seperti manusia biasa, melukiskan tokoh-tokoh revolusi. Wayang Wahyu, bonekanya melukiskan para tokoh-tokoh pada zaman perjuangan Yesus, termasuk para Malaikat dan Iblis, wayang ini dipentaskan untuk dahwah kaum Kristiani. Wayang Pancasila, yaitu wayang purwa yang diberi atribut seperti para pahlawan perjuangan kemerdekaan, pertunjukannya seperti wayang kulit, tetapi ceriteranya mengambil dari sejarah perjuangan Indonesia. Wayang Perjuangan melukiskan tokoh-tokoh pejuang dan ceriteranya seputar perjuangan tahun 1945. Wayang Dupara yaitu wayang yang tokoh-tokohnya melukiskan tokoh-tokoh sejarah seputar zaman Mataram Islam. Wayang Sadat ini termasuk wayang untuk dakwah agama Islam. Dan lain-lainnya termasuk wayang-wayang baru yang bersifat temporer.
Pada dasarnya di antara berbagai ragam bentuk pertunjukan wayang tersebut, meskipun dengan sumber ceritera dan gaya yang berbeda-beda, tetapi jika dilihat dari aspek pergelarannya memiliki kesamaan. Semua itu adalah termasuk betuk seni pedalangan. Seni pedalangan merupakan jenis seni pertunjukan yang melibatkan berbagai unsur kesenian lainnya. Sedikitnya terdapat tujuh unsur seni yang tergabung dalam seni pedalangan, diantaranya: seni drama, seni sastra, seni lukis, seni kriya, seni suara, seni karawitan, dan seni tari.
Melalui unsur seni drama, pertunjukan wayang dapat diketahui dan dihayati makna falsafati nilai-nilai yang terkandung dalam setiap ceritera atau lakon. Dari unsur seni sastra dapat didengar dan dihayati ungkapan-ungkapan bahasa pedalangan yang indah dan menawan. Pada umumnya bahasa pedalangan tradisi, khususnya pedalangan yang hidup di daerah Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat, menggunakan tata bahasa Jawa yang banyak diwarnai dengan penggunaan bahasa Kawi. Dengan kehadiran kata-kata atau edium-edium bahasa Kawi dalam bahasa pedalangan, menimbulkan kesan spesifik dan adiluhung. Dengan kehadiran unsur seni lukis atau rupa dapat dilihat bentuk wayang dengan tata warna dan lukisan asesoris yang indah dan representatif sesuai dengan karakter kejiawaan masing-masing wujud wayang. Dengan demikian seorang dalang ataupun penonton akan mudah melihat dengan jelas perbedaan tokoh satu dan lainnya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar